Rabu, 19 Desember 2012

STEM CELL


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1Latarbelakang
           Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
tentang kesehatan, penelitian dalam bidang stem cell mengalami kemajuan. Hal ini tidak terlepas dari upaya manusia untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah tidak mungkin untuk diobati lagi baik secara konservatif maupun operatif.
Para ahli saat ini telah mulai meneliti kemungkinan penggunaan stem cell untuk mengobati penyakit atau kelainan yang belum bisa untuk diobati dengan obat-obatan atau tindakan operatif, khususnya penyakit degeneratif maupun kelainan lainnya seperti penyakit ganas. Selain itu stem cell juga digunakan dalam penelitian untuk mencari obat-obat baru pada tingkat laboratorium maupun untuk mempelajari patogenesis penyakit.
1.1  Rumusan Masalah
Ø  Apa yang dimaksud dengan stem cell ?
Ø  Apakah pengobatan stem cell itu ?
Ø  Bagaimana stem cell menurut prinsip keperawatan?
Ø  Bagaimana stem cell menurut agama islam ?
Ø  Bagaimana stem cell menurut undang –undang ?

1.2Tujuan
Ø  Mahasiswa dapat mengetahui fungsi stem cell
Ø  Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan stem cell pada tubuh manusia

1.2  Tujuan Khusus
Ø  Mahasiswa dapat  mengetahui pengertian stem cell
Ø   Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan stem cell pada pengobatan
Ø  Mahasiswa dapat mengetahui pandangan stem cell dari  prinsip keperawatan
Ø  Mahasiswa dapat mengetahui pandangan stem cell dari agama islam
Ø  Mahasiswa dapat mengetahui pandangan stem cell dari undang-undang

1.3  Manfaat

Ø  Mengetahui pengobatan menggunakan stem cell
Ø  Mengetahui pandangan masyarakat terhadap pengobatan stem cell
Ø  Mengetahui kegunaan dari pengobatan stem cell


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN STEM CELL
            Stem cell(sel punca) adalah sel induk yang dapat berdeferensial atau dapat merubah diri menjadi berbagai sel sesuai dengan lingkungan, bisa berubah-ubah menjadi sel otot, sel endokrin, ephitel, dan lain-lain kemudian berkembang lagi menjadi stemcell. Stemcell dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti plasenta, tali pusat janin, darah, dan sumsum tulang belakang. Sedangkan menurut sumber lain stemcell yaitu suatu sel yang belum matang atau belum berdeferensiasi (berubah) menjadi sel atau jaringan tertentu. Dalam bahasa indonesia, stemcell disebut sebagai sel punca atau sel induk. Sedangkan dalam bahasa kedokteran, stemcell dapat berupa sel unipoten (hanya dapat berubah menjadi satu jenis sel), multipoten (dapat berubah menjadi beberapa jenis sel), atau totipoten (dapat berubah menjadi jaringan apapun)
Stem cell mempunyai 2 sifat yang khas yaitu
  1. Differensiasi yaitu kemampuan untuk berkembang menjadi sel lain. Stem cell  mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang spesifik misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-lain
  2. Regenerasi yaitu kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri. Stem cell mampu membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.

Berdasarkan kemampuannya untuk berdifferensiasi stem cell dibagi menjadi :
  1. Totipotent adalah sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel yatu zigot. Sel ini merupakan sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan untuk membentuk berbagai jenis sel termasuk membentuk satu individu yang utuh dan berbagai sel pada embrio yang dapat menyusun plasenta.
  2. Pluripotent yaitu stem cells yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) tetapi tidak dapat menjadi jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk stem cells pluripotent adalah embrionik .
  3. Multipotent yaitu stem cell yang dapat berdifferensiasi menjadi banyak jenis sel misalnya hemopoetic stem cells yang terdapat pada sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang terdapat dalam darah seperti eritrosit, lekosit dan trombosit
  4. Unipotent yaitu stem cells yang hanya dapat menghasilkan 1 jenis sel. Stem cells mempunyai sifat masih dapat mempebaharui atau meregenerasi diri Contohnya erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi menjadi sel darah merah.

Berdasarkan sumbernya stem cell dibagi menjadi:
  1. Zigot yaitu pada tahap sesaat setelah sperma bertemu ovum (fertilisasi)
  2. Embrionic stem cells yaitu sel-sel stem yang diperoleh dari inner cell mass dari suatu blastocyst (embrio yang terdiri atas 50-150 sel, kira-kira hari ke-5 pasca pembuahan). Embryonic stem cells biasanya didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai dari IVF (in vitro fertilization). Sel stem ini mempunyai sifat dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal pada kondisi tertentu dan dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit dan sebagainya.
  3. Fetus yang dapat diperoleh dari klinik aborsi
  4. Stem cell darah tali pusat yaitu stem cell yang diambil dari darah plasenta dan tali pusat segera setelah bayi lahir. Stem cells dari darah tali pusat merupakan jenis hematopoetic stem cells. Ada 2 tipe stem cells  dalam darah tali pusat yaitu hematopoetic stem cells dan mesenchymal stem cells.
  5. Adult stem cells yaitu stem cells yang diambil dari jaringan dewasa yaitu :
    1. Sumsum tulang
Ada 2 jenis stem cells pada sumsum tulang yaitu
1)      hematopoetic stem cells yaitustem cells yang akan berkembang menjadi berbagai jenis sel darah
2)      stromal stem cells atau disebut juga mesenchymal stem cell
    1. Jaringan lain pada dewasa seperti pada susunan saraf pusat, adiposa (jaringan lemak), otot rangka, pankreas
Adult stem cell mempunyai sifat plastis artinya selain berdifferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya adult stem cells juga dapat berdifferensiasi menjadi sel jaringan lain, misalnya neural stem cells dapat berubah menjadi sel darah, stromal stem cell dari sumsum tulang dapat berubah menjadi sel otot jantung dan sebagainya.
2.2  Pengobatan stem cell
Para ahli sedang giat melakukan berbagai penelitian untuk menggunakan stem cell dalam mengobati berbagai penyakit. Penggunaan stem cells untuk mengobati penyakit dikenal sebagai Cell Based Therapy.  Prinsip terapi adalah dengan melakukan transplantasi stem cells pada organ yang rusak. Tujuan dari transplantasi stem cells ini adalah
1.      Mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel baru yang sehat pada jaringan atau organ tubuh pasien
2.      Menggantikan sel-sel spesifik yang rusak akibat penyakit atau cidera tertentu dengan sel-sel baru yang ditranspalantasikan.
Sel stem embryonic sangat plastik dan mempunyai kemampuan untuk dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel seperti neuron, kardiomiosit, osteoblast, fibroblast, sel-sel darah dan sebagainya, sehingga dapat dipakai untuk menggantikan jaringan yang rusak. Sel stem dewasa juga dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, tetapi kemampuan plastisitasnya sudah berkurang. Keuntungan dari penggunaan sel stem dewasa yaitu tidak atau kurang menimbulkan masalah dan kontroversi etika. Darah tali pusat (umbilical cord blood) saat ini sedang gencar diteliti manfaatnya untuk mengatasi berbagai penyakit degeneratif karena lebih mudah didapat, banyak mengandung stem cells, immunogenecity rendah, plastisitasnya cukup baik dan tidak membutuhkan 100% kecocokan HLA. 
Dengan memberikan nutrisi yang cocok stem cell dapat memperbanyak diri di laboratorium tanpa mengalami proses differensiasi, sehingga menghasilkan turunan stem cells dengan materi genetik yang sama yang berguna untuk riset.

Ada beberapa alasan penggunaan stem cell dalam cell based therapy:
  1. stem cell dapat diperoleh dari pasien sendiri, artinya transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang harus match, transplantasi stem cells dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai.
  2. mempunyai kemampuan untuk berproliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh sel dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Pada luka baker yang luas jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lesi luka baker tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan terapi stem cell.
  3. mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi melalui metoda transfer gen.
  4. mempunyai kemampuan untuk bermigrasi kejaringan target misalnya ke otak
  5. mempunyai kemampuan untuk berintegrasi dengan jaringan host dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya
Keuntungan penggunaan transplantasi stem cells untuk mengobati penyakit adalah
  1. tidak perlu adanya kecocokan donor
  2. transplantasi autologous lebih baik untuk digunakan
  3. untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan jaringan dapat digunakan metoda somatic cell nuclear transfer) atau terapi kloning. Therapeutic cloning atau disebut Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) adalah suatu teknik yang bertujuan untuk menghindari resiko penolakan atau rejeksi. Pada teknik ini inti sel telur donor dikeluarkan dan diganti dengan inti sel resipien. Sel yang telah dimanipulasi ini kemudian akan membelah diri dan setelah menjadi blastokista maka inner cell massnya akan diambil sebagai embryonic stem cells. Stem cells ini kemudian akan dimasukkan kembali kedalam tubuh resipien dan stem cells ini kemudian akan berdifferensiasi menjadi sel organ (sel beta pankreas, sel otot jantung dan lain-lain). Tanpa reaksi penolakan karena sel tersebut mengandung materi genetik resipien. 

Pengobatan stem cell terhadap penyakit stroke . Pada penyakit stroke dahulu dianggap bahwa kematian sel yang terjadi akan menyebabkan terjadinya kecacatan permanen akibat sel otak tak mempunyai kemampuan regenerasi. Anggapan ini berubah setelah para ahli mengetahui adanya plastisitas pada sel-sel otak dan pengetahuan tentang stem cells. Pada penelitian penyakit stroke dengan menggunakan stem cells dari darah tali pusat menusia yang diberikan intra vena kepada tikus yang arteri serebri medianya dioklusi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada penelitian ini didapatkan pemulihan kembali fungsi normal otak sebesar 70% pada kelompok yang mendapatkan transplantasi stem cells dari darah tali pusat manusia.
Penelitian dengan menggunakan mesenchymal stem cells (MSC) dari sumsum tulang autolog yang diberikan intra vena pada 30 penderita stroke juga memperbaiki outcome yang dinilai dari parameter Barthel Index dan Modified Rankin Scale.
2.3  Stem cell menurut prinsip keperawatan

2.3.1        Otonomi
Otonomi berasal dari bahasa latin, yaitu autos, yang berarti sendiri dan nomos berarti aturan.  Sedangkan otonomi sendiri berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Perawat harus menanyakan pada pasien apakah ingin mengguanakan pengobatan stem cell untuk mengobati penyakitnya.
2.3.2        Beneficience
Beneficience merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain. Perawat harus mengikuti keinginan pasien dan tidak menentang keyakinan pasien untuk menggunakan pengobatan stem cell.

2.3.3        Justice
Keadilan merupakan prinsip moral berlaku adil untuk semua individu. Tindakan yang sama namun tidak harus identik tetapi dalam hal ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Perawat harus berlaku adil terhadap pasien maksud dari berlaku adil adalah mengobati dan merawat sesuai dengan penyakit yang di derita pasien.


2.3.4        Nonmaleficience
Nonmaleficience berarti tidak melukai atau tidak menimbulkan bahaya atau cedera bagi orang lain. Perawat harus mengobati dan merawat pasien sesuai prosedur yang ada. Jika stem cell merugikan pasien maka pengobatan stem cell tidak perlu dilakukan.

2.3.5        Moral Right
Stem cell ini bertentangan dengan paham masyarakat karena berasal dari embrio dan tali pusat bayi yang di dapat dari korban aborsi.

2.3.6        Nilai dan Norma Masyarakat
Stem cell berguna bagi pengobatan namun sumber dari sel punca tersebut melanggar norma masyarakat karena dari korban aborsi, sedangkan aborsi dilarang oleh agama karena membunuh cabang bayi yang tidak berdosa.

2.4  Stem cell menurut agama
Penggunaan embryonic stem cells lebih dekat dengan hukum menggugurkan kandungan yang “diharamkan” menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Ulama tahun 1972 dan Musyawarah Nasional (Munas) MUI tahun 1983. Namun Fatwa MUI tersebut ada pengecualiannya yaitu memperbolehkan menggugurkan kandungan apabila kandungan tersebut membahayakan si ibu atau membawa penyakit menular yang berbahaya. Karena pengguguran kandungan untuk tujuan riset (stemcell research) sangatlah berbeda dengan pengguguran kandungan dengan alasan kesehatan, maka diperlukan hukum atau dalil tersendiri untuk memutuskan boleh tidaknya stemcell research dengan menggunakan embryonic stemcell dari hasil menggugurkan kandungan. Tidak disangsikan lagi, hukum tersebut akan menimbulkan perdebatan yang cukup alot antara kubu yang pro dan kontra stemcell research. Apapun keputusannya, stemcell research dengan menggunakan embryonic stemcell kemungkinan besar akan terus berlanjut.
Pemanfaatan janin yang mengalami keguguran atau janin “sisa” hasil pembuahan bayi tabung untuk kepentingan stemcell research mungkin tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Janin tersebut lebih berguna daripada dibuang secara sia-sia. Pemanfaatan tersebut dapat juga menjadi ibadah bagi pelakunya karena digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Khusus mengenai bayi tabung, fatwa MUI memperbolehkan asal sel telur dan sperma untuk membuat bayi tersebut adalah dari kedua orang tua yang sah menurut hukum Islam, sehingga janin sisa tersebut dapat digunakan untuk kepentingan stemcell research.
Pembuatan stemcells melalui SCNT (kloning) mempunyai tendensi untuk menimbulkan perdebatan. Selama ini belum ada fatwa ataupun hukum fiqih yang mengatur mengenai kloning tersebut. Walaupun demikian, sebagian besar ulama “mengharamkan” kloning dengan alasan proses tersebut tidak melalui hukum Islam (misalnya perkawinan) dan ikut campurnya fihak ketiga dalam proses reproduksi tersebut. Namun, perlu diperhatikan bahwa kloning untuk keperluan stemcell research mungkin berbeda dengan kloning untuk mendapatkan keturunan yang dalam hukum Islam harus melalui ikatan perkawinan. Jika dirunut secara teliti, proses kloning sebenarnya merupakan pembuktian kebenaran AlQur’an dalam proses pembuahan Nabi Isa A.S., yang tiada berayah.
Islam adalah agama yang sederhana dan mudah dimengerti dan diamalkan oleh umat manusia. Dalam Islam, niat merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Dengan demikian, niat dalam melaksanakan stemcell research tersebut sangat menentukan baik buruknya stemcell research. Apabila stemcell research digunakan untuk membantu umat manusia, misalnya menyembuhkan manusia dari berbagai penyakit, maka kegiatan tersebut adalah sangat baik. Sebaliknya, apabila digunakan untuk kejahatan (misalnya menciptakan monster yang mengganggu umat manusia), maka kegiatan tersebut sangat berlawanan dengan ajaran Islam dan wajib untuk ditentang. Selanjutnya, cara pengambilan dan penggunaan embryonic stemcell untuk stemcell research tersebut perlu diperhitungkan pula dalam pembuatan fatwa tersebut.

2.5  Stem cell menurut Undang-Undang
n  UNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 23/1992
Tentang Kesehatan
n  PP NO. 39/1995
Tentang Penelitian & Pengembangan Kesehatan
n  KEPMENKES NO. 1333/2002
Tentang Penelitian Kesehatan Pada Manusia
n  KEPMENKES NO. 1334/2002
Tentang Pembentukan PNEPK(Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan)
                        Standar bagi semua lembaga yang melakukan penelitian kesehatan Pasal 69:
              LITBANGKES dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. LITBANG pada manusia dilaksanakan dengan memperhatikan etika penelitian dan norma hukum, agama, kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat serta dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan pasien.






BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Stem cell adalah pengobatan penemuan terbaru oleh para ahli untuk mengobati penyakit ganas. Namun banyak yang menentang karena tidak sesuai dengan norma masyaratkat. Cara mendapatkan stem cell yaitu dari embrio dan tali pusat bayi dari korban aborsi.Sedangkan aborsi dilarang oleh agama karena membunuh cabang bayi yang tidak berdosa. Setiap  penyakit pasti ada obatnya namun masih banyak cara lain yang benar untuk mengobati penyakit ganas.




DAFTAR PUSTAKA
Emi Suhaeni,mimin. 2004.Etika Keperawatan.jakarta.EGC
http://www.stemcells.nih.gov/info, diunduh pada tanggal 29 november 2011 pukul 18.00
 http://www.usccb.org/prolife/issues/bioethics, diunduh pada tanggal 29 november 2011 pukul 18.00


Euthanasia


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga tak jarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawat merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.

1.2         Rumusan Masalah
1.2.1        Apa itu Euthanasia?
1.2.2        Apa saja pengklasifikasian Euthanasia?
1.2.3        Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia?
1.2.4        Apa Kewajiban Perawat dalam kasus Euthanasia?
1.2.5        Bagaimana pandangan Euthanasia di beberapa aspek?
1.2.6        Bagaimana Euthanasia Di Pandang dari aspek Hukum di Indonesia?
1.2.7        Bagaimana kode etik tentang Euthanasia?


1.3.   Tujuan Penyusunan Makalah
1.3.1    Untuk mengetahui tentang Euthanasia
1.3.2    Untuk mengetahui apa saja pengklasifikasian Euthanasia
1.3.3    Untuk mengetahui hak pasien dalam kasus Euthanasia
1.3.4    Untuk mengetahui kewajiban perawat dalam kasus Euthanasia
1.3.5    Untuk mengetahui bagaimana pandangan tentang Euthanasia di beberapa aspek
1.3.6    Untuk mengetahui bagaimana Euthanasia di pandang dari apek hukum di Indonesia
1.3.7    Untuk mengetahui tentang kode etik Euthanasia


1.4.  Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dan bermanfaat serta menjadi pedoman bagi penulis lain yang berminat menyusun makalah dengan tema yang sama.
2)      Sebagai sumbangan pemikiran atau bahan masukan khususnya bagi mata kuliah terkait.

1.5   Metode Penulisan
Menggunakan metode pustaka

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian
                  Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
-          Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
-          Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
                        Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif jika dokter melakukan negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan kematian.


2.2    Klasifikasi euthanasia
a.    Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
1.      Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan
2.      Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b.   Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:
1.       Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
2.      Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
3.      Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).

c.       Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1.      Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2.      Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3.      Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

d.   Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1.      Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2.      Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
3.      Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial

e.    Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1.      Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
2.      Eutanasia hewan
Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusus dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
3.      Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

f.    Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
1.      Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
2.      Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
3.      Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
4.      Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.

2.3  Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.

2.4     Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.       memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.      membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.       mengoptimalkan system dukungan
d.      membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
e.       membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.

2.5  Beberapa aspek euthanasia.
A.  Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal - pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

C. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang - kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.


2.6      Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
Ø  Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
Ø  Pasal 338 KUHP      
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Ø  Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Ø  Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Ø  Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

2.7      KODE ETIK EUTHANASIA
Jika dilihat dari sudut pandang hukum, hukum positif dengan tegas melarang euthanasia. Pasal 344 KUHP menyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Ketentuan yuridis ini diperkuat dengan kode etik kedokteran pasal 10 yang menegaskan: Seorang dokter harus senantiasa ingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Euthanasia atau tindakan apapun yang berakibat kematian seseorang jelas dengan tegas ditolak bahkan itu dapat dituntut ke pengadilan dengan dakwaan pembunuhan. Meskipun dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit mengenai euthanasia, namun yang dimaksud disini adalah euthanasia aktif. Larangan demikian, diperkuat oleh kenyataan religiusitas masyarakat. Sehingga tidak ada pembenaran dari aspek mana pun yang memperkenankan euthanasia. Dengan kata lain, di Indonesia NO Euthanasia. Meskipun beberapa Negara seperti Belanda, Belgia dan Negara bagian Oregon AS sudah melegalkan euthanasia.



BAB 3
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :
Ø  Euthanasia adalah Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Ø  Banyak bermacam-macam pengklasifikasian tentang Euthanasia salah satunya berdasarkan cara pelaksanaanya dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

1.      Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2.      Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3.      Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
               Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upayadefensifmedis.

3.2     Saran
1.      Marilah tingkatkan imtak kita kepada Tuhan YME agar kita selalu diberi kesehatan dah Taufik Nya
2.      Jangan pernah untuk mencona melakukan tindakan Euthanasia meskipun kita adalah seoranh dokter ataupun seorang perawat karena hal tersebut selain dilarang oleh agama Islam juga dilarang dalam aspek hukum.



DAFTAR PUSTAKA