BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi
penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan
kritis sehingga tak jarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan
pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan
menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan
perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga
mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan
teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup
seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawat merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu
menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat
mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar
bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian,
konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi
antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang
sedemikian maju.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa itu Euthanasia?
1.2.2
Apa saja pengklasifikasian Euthanasia?
1.2.3
Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia?
1.2.4
Apa Kewajiban Perawat dalam kasus
Euthanasia?
1.2.5
Bagaimana pandangan Euthanasia di
beberapa aspek?
1.2.6
Bagaimana Euthanasia Di Pandang dari
aspek Hukum di Indonesia?
1.2.7
Bagaimana kode etik tentang Euthanasia?
1.3.
Tujuan Penyusunan Makalah
1.3.1 Untuk mengetahui tentang Euthanasia
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja pengklasifikasian
Euthanasia
1.3.3 Untuk mengetahui hak pasien dalam kasus
Euthanasia
1.3.4 Untuk mengetahui kewajiban perawat dalam
kasus Euthanasia
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana pandangan tentang
Euthanasia di beberapa aspek
1.3.6 Untuk mengetahui bagaimana Euthanasia di
pandang dari apek hukum di Indonesia
1.3.7 Untuk mengetahui tentang kode etik
Euthanasia
1.4.
Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan
penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)
Diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dan bermanfaat serta menjadi
pedoman bagi penulis lain yang berminat menyusun makalah dengan tema yang sama.
2)
Sebagai sumbangan pemikiran atau bahan masukan khususnya bagi mata kuliah
terkait.
1.5
Metode Penulisan
Menggunakan metode
pustaka
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death /
easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas
dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.
Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru
mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan
teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan
yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang
hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep
kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara
etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
-
Menurut Hilman (2001), euthanasia
berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya
dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi untuk bisa sembuh.
-
Di dunia etik kedokteran kata
euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam
bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia
sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland
(Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja
untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua
macam, yaitu euthanasia aktif
jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian
dan euthanasia pasif jika dokter melakukan
negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung
menyebabkan kematian.
2.2 Klasifikasi
euthanasia
a.
Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi
menjadi:
1. Voluntary
euthanasia,
jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan
2. Involuntary
euthanasia, jika
yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter
karena pasien mengalami koma medis.
b.
Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan
staf pengajar pada Fakultas
Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia
dapat dibedakan menjadi:
1. Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan
dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si
pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke
tubuh pasien.
2. Euthanasia
pasif. Dokter atau tenaga
kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik.
Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung
medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk
bertahan hidup.
3. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat
sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya
adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
c.
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila
ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori:
1. Eutanasia agresif,
disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang
pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2. Eutanasia non agresif,
kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
3. Eutanasia pasif
dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa
contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan
eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis
maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat
keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar
biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat
"pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien
diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
d. Eutanasia ditinjau
dari sudut pemberian izin
Ditinjau
dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
1. Eutanasia di luar kemauan pasien:
yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien
untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2. Eutanasia secara tidak sukarela:
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab
beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si
pasien.
3. Eutanasia secara sukarela : dilakukan
atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal
controversial
e. Eutanasia
ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa
tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1. Pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia
jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya
eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat
sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi
tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
2. Eutanasia
hewan
Sesuai
dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusus dilakukan kepada hewan, biasanya
beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan,
membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada
kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal,
maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk
hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya
mereka di suntik mati terlebih dahulu.
3. Eutanasia
berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela
f.
Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
1. Euthanasia murni : usaha
untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya
termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati
dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
2. Euthanasia pasif :tidak
dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia
untuk memperpanjang kehidupan
3. Euthanasia tidak langsung:usaha
memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan
lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat
narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
4. Euthanasia aktif:
proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan
langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih
perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana
keinginanya dapat di ketahui.
2.3
Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien
untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter
terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses
pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan
pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang
matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup
sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien
tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang
memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu
dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai
pendapat-pendapat tersebut.
2.4
Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.
memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.
membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang
dihadapinya
c.
mengoptimalkan system dukungan
d.
membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah
yang telah dihadapi
e.
membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai
dengan keyakinannya.
2.5 Beberapa aspek euthanasia.
A. Aspek
Hukum.
Undang undang yang
tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam
aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal - pasal dalam undang undang yang terdapat dalam
KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak
hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu
Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran
dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk
tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia,
bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.
D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian
merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang
mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan
ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang - kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus
asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam
pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin
mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya,
kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan
kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar
ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang
ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi
pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka
dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
2.6 Euthanasia
dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di
Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini
dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344,
338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan
tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat
pada pasal 344 KUHP.
Ø Pasal
344 KUHP
barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh
dokter.
Ø Pasal
338 KUHP
barang siapa dngan
sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara
selama-lamanya lima belas tahun.
Ø Pasal
340 KUHP
Barang siapa yang
dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
Ø Pasal
359
Barang siapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga
dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk
berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Ø Pasal
345
Barang siapa dengan
sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan
pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter
dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat
dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat
tahun penjara.
2.7 KODE
ETIK EUTHANASIA
Jika dilihat
dari sudut pandang hukum, hukum positif dengan tegas melarang euthanasia. Pasal
344 KUHP menyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Ketentuan yuridis ini
diperkuat dengan kode etik kedokteran pasal 10 yang menegaskan: Seorang dokter
harus senantiasa ingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Euthanasia atau tindakan apapun yang berakibat kematian seseorang jelas dengan
tegas ditolak bahkan itu dapat dituntut ke pengadilan dengan dakwaan
pembunuhan. Meskipun dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit mengenai
euthanasia, namun yang dimaksud disini adalah euthanasia aktif. Larangan
demikian, diperkuat oleh kenyataan religiusitas masyarakat. Sehingga tidak ada
pembenaran dari aspek mana pun yang memperkenankan euthanasia. Dengan kata
lain, di Indonesia NO Euthanasia. Meskipun beberapa Negara seperti Belanda,
Belgia dan Negara bagian Oregon AS sudah melegalkan euthanasia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :
Ø Euthanasia
adalah Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Ø Banyak
bermacam-macam pengklasifikasian tentang Euthanasia salah satunya berdasarkan
cara pelaksanaanya dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.
Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu
tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia
agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik
secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan
tersebut adalah tablet sianida.
2.
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
3.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan
eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien
secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan
kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif
bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki
kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang
tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah
sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya
meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upayadefensifmedis.
3.2 Saran
1. Marilah
tingkatkan imtak kita kepada Tuhan YME agar kita selalu diberi kesehatan dah
Taufik Nya
2. Jangan
pernah untuk mencona melakukan tindakan Euthanasia meskipun kita adalah seoranh
dokter ataupun seorang perawat karena hal tersebut selain dilarang oleh agama
Islam juga dilarang dalam aspek hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar