Rabu, 12 Desember 2012

ALZHEIMER


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer.Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ke tempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara nikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Di lain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi, yang merupakan penyebab utama demensia.Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi. 
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50- 60%) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika dengan insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita alzheimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.




1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa definisi dari alzaemer?
1.2.2        Apa etiologinya?
1.2.3        Bagimana patofisiologi dari alzaemer?
1.2.4        Bagaimana manifestasi klinisnya?
1.2.5        Bagaimana pemeriksaan penunjang dari alzaemer?
1.2.6        Bagaimana penatalaksanaannya?

1.3  Tujuan dan Manfaat
1.3.1        Menjelaskan apa etiologi dari alzaemer
1.3.2        Menjelaskann etiologi alzaemer
1.3.3        Menjelaskan petofisiologi alzaemer
1.3.4        Menjelaskan manifestasi klinis dari alzaemer
1.3.5        Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang dari alzaemer
1.3.6        Menjelaskan tentang penatalaksanaan dari alzaemer




BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Alzheimer  merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. ( Suddart, & Brunner, 2002 ).
Alzheimer  merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian penderita.
(Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008)
Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, dimana sel-sel otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan gangguan mental berupa kepikunan (demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi memori (daya ingat), berbahasa, berpikir dan berperilaku.Sebagian besar demensia disebabkan oleh penyakit Alzheimer (60%). Demensia adalah suatu penyakit yang dapat ditatalaksana, dan demensia bukan merupakan bagian normal dari proses penuaan.
Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun.
(Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003)
Sehingga dengan demikian Alzheimer adalah penyakit kronik, degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, kepribadian yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan merawat diri. Penyakit ini menyerang orang berusia 65 tahun keatas.
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.

2.2  Etiologi alzheimer
Penyebab yang pasti belum diketahui.Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer.Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron.Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.

Faktor penyebab Alzheimer
1.      Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer.Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

2.      Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a)      manifestasi klinik yang sama
b)      Tidak adanya respon imun yang spesifik
c)      Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d)     Timbulnya gejala mioklonus
e)      Adanya gambaran spongioform

3.      Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

4.      Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid.Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.

5.      Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6.      Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a)      Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer

b)      Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopamin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer.Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.

c)      Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.

d)     Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert.Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis

e)      MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin.Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.

2.3  Patofisiologi
Alzheimer muncul ketika Gumpalan tidak normal yang lengket di sel sel otak yang disebut “beta-amyloid” bertumpuk hingga membentuk plak, sehingga merusak fungsi kognitif. Pada dasarnya amyloid dapat dipergunakan untuk melindungi otak dari beberpa pathogen sebagai bagian system kekebalan tubuh bawaan, namun karna beberapa sebab yang telah di jelaskan di etiologi di atas, amyloid ini berubah menjadi gumpalan padat membentuk plak. Amyloid merupakan bentuk umum dari serpihan protein yang dihasilkan secara normal oleh tubuh, pada otak yang sehat amyloid ini akan dihancurkan dan dieliminasi oleh Beta-Amyloid atau amyloid precursor protein (APP). Namun pada penderita alzheimer amyloid ini akan terakumulasi menjadi padat dan keras sehingga tidak dapat larut.
Selain terakumulasinya amyloid, pada penderita alzheimer terjadi penyusutan dan kekusutan pada sel-sel otak sehingga terbentuk rongga-rongga yang berisi cairan cerebrospinal dalam otak hal ini akan mengakibatkan otak kehilangan kem
ampuan memorinya, lambat laun rongga ini akan membesar sehingga kerusakan otak menjadi lebih parah bahkan mengakibatkan kematian bagi penderita alzheimer.


2.4  Manifestasi Klinis Alzheimer
Perubahan mental penderita alzheimer terjadi sangat perlahan-lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu :

Tahap awal
ü  Tidak ingat akan kejadian yang belum lama terjadi
ü  Tidak dapat mengenali sesuatu/benda yang sebenarnya sudah pernah tahu
ü  Hilang ingatan
ü  Gangguan emosi seperti depresi, ketakutan
ü  Lesu, tidak acuh pada aktivitas sekitarnya.

Tahap akhir
ü  Tidak dapat mengenali saudaranya sendiri
ü  Berangan-angan
ü  Sukar berjalan, lama kelamaan berjalan dengan menyeretkan kaki
ü  Mengalami serangan tiba-tiba (seizures) pada beberapa penderita.







2.5  Pemeriksaan penunjang

a)      Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:

a.      Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.

b.      Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21.Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik.Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.

b)      Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif.Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.

c)      Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus.Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula.Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.

d)      Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala.Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer.

e)      Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia.Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena:
ü  Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
ü  Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.
ü  Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
a.       Verbal fluency animal category
b.      Modified boston naming test
c.        mini mental state
d.       Word list memory
e.        Constructional praxis
f.        Word list recall
g.       Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol.

f)        CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem.Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri.Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental.  Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral).Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal.Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.

g)      EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada  lobus frontalis yang non spesifik
h)      PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.

i)        SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer.Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif.Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.

j)        Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.

2.6  Penatalaksanaan
ü  Pencegahan
Manajemen dari faktor-faktor resiko mempunyai target pada berbagai level, tergantung dari latar belakang medis pasien dan dimana pasien berada pada saat berlangsungnya penyakit. Chui et. al mengusulkan suatu klasifikasi yang terintegrasi dari cedera vaskuler otak berdasar pada strategi pengobatan. Untuk tiap kasus klinis harus fokus secara sistematik pada strategi pengobatan yang spesifik, yang ditujukan pada pencegahan primer (faktor resiko), pencegahan sekunder (mekanisme dasar kerusakan vaskuler otak) dan pencegahan tersier (pada kasus dimana terjadi gangguan fungsional). Klasifikasi ini juga menekankan kebutuhan akan deteksi dini pada pasien-pasien dengan gangguan kognisi yang minimal yang berada pada resiko untuk berkembangnya alzheimer. Pasien-pasien ini akan menerima keuntungan dari pengobatan yang agresif.

ü  Pengobatan penyakit alzheimer
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas.Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
·         kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat inidikatakan dapat memperbaiki memori danapraksia selama pemberian berlangsung.
Beberapa peneliti  mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.
·         Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan
penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
·         Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
·         Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
·         Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari)



·         Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan bantuan enzym ALC transferase.Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.






BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
         Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1.      Anamnesis
a.   Identitas klien
Meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok usia lanjut, 50% populasi berusia lebih dari 85tahun), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit,nomor register, diagnostik medis.
b.   Keluhan utama
      Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk menerima pertolongan kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan kelumpuhan gerak ekstermitas.
c.    Riwayat Penyakit Saat ini
Pada anamnesis, klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan yang baru. Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien sering mengalami tingkah laku aneh dan kacau serta sering keluar sendiri tanpa meminta izin pada anggota keluarga yang lain sehingga sangat meresahkan anggota keluarga yang menjaga klien.
Pada tahap lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar sehari-hari, atau mengenali anggota keluarga.
d.   Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi. Diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti-ansietas (benzodiazepin), penggunaan obat-obat antikolinergik dalam  jangka waktu yang lama, dan riwayat sindrom Down yang pada suatu saat kemudian menderita penyakit alzheimer pada usia empat puluhan.
e.      Riwayat penyakit keluarga
Penyebab penyakit alzheimer ditemukan memilki hubungan genetik yang jelas. Diperkirakan 10-30% klien alzheimer familiar (FAD). Pengkajian adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus diperlukan untuk melihat adanya komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepatt progresifnya penyakit.

f.    Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit alzheimer adalah penurunan kognitif dan penurunan memori (ingatan).
2.      Pemeriksaan fisik
           Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem dan terarah (B1-B6) dengan faktor pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) dan dihubungkan  dengan keluhan dari klien.
 3.   Keadaan Umum
            Klien dengan penyakit alzheimer umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme. Adanya perubahan pada tanda vital meliputi brakikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan.

B1 ( breathing)
      Gangguan fungsi pernapasan berkaitan dengan hipoventilasi, inaktivitas, aspirasi makanan atau saliva, dan berkurangnya fungsi pembersihan saluran napas.
Inspeksi, didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum,, sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.
Palpasi, traktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi, adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas.

B2 (blood)
Hipotensi postural berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh sistem saraf otonom.

B3 (brain)
Pengkajian B3(brain) merupakan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Inspeksi umum didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.

1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan status kognitif klien.
Pemeriksaan fungsi serebri.
Status mental:biasanya status mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori baik jangka pendek maupun memori jangka panjang.

 2. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I, biasanya pada klien dengan penyakit alzheimer tidak ada kelainann dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II, hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan sesuai tingkat usia, klien
dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
Saraf III, IV, VI, pada beberapa kasus penyakit alzheimer biasanya tidak ditemukan adanya     
kelainan pada nervus ini.
Saraf V, wajah simetris dan tidak ada kelainan pada nervus ini.
Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal.
Saraf VIII, adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan dengan proses senilis dan
penurunan aliran darah regional.
Saraf IX dan X, didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan
perubahan status kognitif.
Saraf XI, tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan tranpezius.
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi indra
pengecapan normal.

   3. Sistem motorik
         Inspeksi umum, pada tahap lanjut, klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi motorik secara umum. Tonus ototdidapat meningkat. Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena adanya perubahan status kognitif dan ketidak kooperatifan klien dengan metode pemeriksaan.
 4. Pemeriksaan refleks
         Pada tahap lanjut penyakit alzheimer, sering didapatkan bahwa klien kehilangan refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan kepala cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah satunya ke depan atau ke belakang) dapat menimbulkan sering jatuh.
 5. Sistem sensorik
         Sesuai berlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan terhadap sensasi sensorik secara progresif. Penurunan sensorik yang ada merupakan hasil dari neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum.

B4 (bledder)
Pada tahap lanjut, beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya, biasanya yang berhubungan dengan penurunan status kognitif pada klien alzheimer. Penurunan reflekss kandung kemih yang bersifat progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postiral. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten denga teknik steril.

B5 (bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Karena penurunan aktivitas umum, klien sering mengalami konstipasi.

B6 (bone)
Pada tahap lanjut biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adaanyaa gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan disebabkan karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada seluruh gerakan akan memberikan risiko pada trauma fisik bila melakukan aktivitas.

B.  Diagnosa keperawatan
1)      Defisit perawatan diri ( makan, minum, berpakaian, higine) berhubungan dengan proses perubahan proses berfikir.
2)      Perubahan nutrisi: kurang daari kebutuhan yang berhubungan dengan intake tidak    adekuat, perubahan proses pikir
3)      Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan menyelesaikan masalah, perubahan intelektual
4)      Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan intelektual (pikun, disorientasi, penurunan kemampuan mengatasi masalah)

C. Rencana keperawatan
1. Defisit perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan perubahan proses pikir.
Tujuan         : Dalam waktu 2x24 jam terdapat perilaku peningkatan dalam pemenuhan
                      perawatan diri.
Kriteria hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan
                       merawat diri dan mngidentifikasi personal/keluarga yang dapat
                      membantu.

INTERVENSI
RASIONAL
Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan ADL.
Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.
Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Klien dalam keadan cemas dan tergantung. Hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
Ajarkan dan dukung klien selama aktivitas.
Dukungan pada klien selama aktivitas kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan perawatan diri.
Rencanakan tindakan untuk defisit motorik seperti tempatkan makanan dan peralatan didekat klien agar mampu sendiri mengambilnya.
Klien akan mampu melakukan aktivitas sendiri untuk memenuhi perawatan dirinya.
Modifikasi lingkungan.
Modifikasi lingkungan diperlukan untuk mengompensasi ketidakmampuan fungsi.
Gunakan pagar di sekeliling tempat tidur.
Gunakan pagar di sekeliling tempat tidur baik tempat tidur di rumah sakit dan dirumah, atau sebuah tali yang diikatkan pada kaki tempat tidur untuk memberi bantuan dalam mendorong diri untuk bangun tanpa bantuan orang lain serta mencegah klien mengalami trauma.
Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi billa kondisi memungkinkan.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalaah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.
Meningkatkan latihan dan menolong mencegah konstipasi.
Kolaborasi
Pemberian supositoria dan pelumas feses/pencahar.
Pertolongan pertama terhadap fungsi bowel atau BAB>.
Konsul ke dokter terapi okupasi.
Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus.

2. Perubahan nutrisi:kurang daari kebutuhan yang berhubungan dengan intake tidak adekuat, perubahan proses pikir
Tujuan          : Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan
                      berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium

INTERVENSI
RASIONAL
Evaluasi kemampuan makan klien.
Klien mengalami kesulitan dalam mempertahankan berat badan mereka. Mulut mereka kering akibat obatt-obatan dan mengalami kesulitan mengunyah dan menelan.
Klien berisiko terjadi aspirasi penurunan refleks batuk.
Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan.
Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
Manajemen mencapai kemampuan menelan.
a.         Gangguan menelan disebabkan oleh tremor pada lidah, ragu-ragu dalam memulai menelan, kesulitan dalam membentuk makanan dalam bentuk bolus.
b.         Makanan setengah padat dengan sedikit air memudahkan untuk menelan.
c.         Klien dianjurkan untuk menelan secara berurutan.
d.         Klien diajarkan untuk meletakkan makanan diatas lidah, menutup bibir dan gigi dan menelan.
e.          Klien dianjurkan untuk mengunyah pertama kali pada satu sisi mulut dan kemudian kesisi lain.
f.         Untuk mengontrol saliva, klien dianjurkan untuk menahan kepala tegak dan menbuat keadaan sadar untuk menelan.
g.         Masase otot wajah dan leher sebelum makan dapat membantu.
h.        Berikan makanan kecil daan lunak.
Meningkaatkan kemapuan klien dalam menelan daan dapat membantu pemenuhan nutrisi klien via oral. Tujuan lain adalah mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, mencegah gangguan pada laambung.
Memonitor pemakaian alat bantu.
Pemanasan elektrik digunakan untuk menjaga makanan tetap hangat dan klien diizinkan untuk istirahat selama waktu tang ditetapkan untuk makan, alat-alat khusus juga membantu makan.
Penggunaan piring yang stabil, cangkir yang tidak pecah bila jatuh, dan alat-alat makan dapat digenggam sendiri digunakan sebagai alat bantu.
Kaji fungsi sistem gastrointestinal yang meliputi suara bising usus, catat terjadi perubahan dalam lambung seperti mual, muntah. Observasi perubahan pergerakan usus misalnya diare, konstipasi.
Fungsi sistem gastrointestinal sangat penting untuk memasukkan makanan. Vetilator daapat menyebabkan kembung lambung dan perdarahan lambung.
Anjurkan pemberian cairan 2500cc/hari selama tidak terjadi gangguan jantung.
Mencegah terjadinya dehidrasi akibat penggunaan ventilator selama tidak sadar terjadinya konstipasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti serum, transferin, BUN/creatine dan glukosa.
Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.

3. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan perubahan proses pikir dan disfungsi karena perkembangan penyakit.
Tujuan           :  Dalam waktu 2x24 jam koping individu menjadi efektif.
Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang terdekat
                       tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan
                       penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan mengabungkan
                       perubahan kedalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri
                       yang negatif.

INTERVENSI
RASIONAL
Kaji perubahan dari gangguan persepsi daan hubungan dengan derajat ketdakmampuan.
Menentukan bantuan individual dalaam menyusun rencana perawatan ataau pemilihan intervensi.
Dukung kemampuan koping.
Kepatuhan terhadap program latihan dan berjalan membantu memperlambat kemajuan penyakit.
Dukungan dan sumber bantuan dapat diberikan melalui ketekunan berdoa dan penekanan keluar terhadap aktivitas dengan mempertahankan partisipasi aktiff.
Catat ketika klien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan  menyatakan inilah kematian.
Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negatif terhadap gambaran tubuh dan kemampuan yang menunjukkan kebutuhan dan intervensi serta dukungan emosional.
Pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.
Membantu klien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Mengizinkan klien untuk merasakan adanya harapan dan mulai menerima situasi baru.
Beri dukungan psikologis secara menyeluruh.
Klien alzheimer sering merasa maalu, apatis, tidak adekuat,bosan dan merasaa sendiri. Persaan ini dapat disebabkan akibat keadan fisik yang lambat dan upaya yang besar dibutuhkan terhadap tugas-tugas kecil. Klien dibantu dan didukung untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (seperti meningkatkan mobilitas).
Bentuk program aktivitas pada keseluruhan hari.
Bentuk program aktivitas pada keseluruhan hari untuk mencegah waktu tidur yang terlalu banyak yang dapat mengarah pada ada tidak adanya keinginan daan apatis. Setiap upaya dibuat untuk mendukung klien keluar dari tugas-tugas yang termasuk koping dengan kebutuhan mereka seriap hari dan untuk membantu klien mandiri. Apapun yang dilakukan hanya untuk keamanan sewaktu mencapai tujuan dengan meningkatnya kemampuan koping.
Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal-hal untuk dirinya semaksimal mungkin.
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta memepengaruhi proses rehabilitasi.
Dukung perilaku/usaha seperti peningkatan minat  atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang.
Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan kosentrasi, letargi, dan witdhrawal.
Daapaat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana memerlukan memerlukan intervensi dam evaluasi lebuh lanjut.
Kolaborasi:
Rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahn peran yang penting untuk perkembangan perasaan. Kerjasama fisioterapy, psikoteraphy obat-obatan, dan dukungan partisipasi kelompok dapat menolong mengurangi depresi yang juga sering muncul pada keadaan ini.

4. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perubahan proses pikir.
Tujuan          : Dalam waktu 2x24 jam terjadi peniingkatan dalam perilaku berkomunikasi
                        yang efektif sesuai dengan kondisi dan keadaan klien.
Kriteria hasil : Membuat teknik/metode komuunikasi yang dapat dimengerti sesuai
                       kebutuhan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

INTERVENSI
RASIONAL
Kaji kemampuan klien untuk berkomunikasi.
Gangguan berbicara ada pada banyak klien yang mengalami penyakit alzheimer. Bicra mereka yang lemah, menoton, halus menuntuk kesadaran berupaya untuk bicara dengan lambat dengan penekanan perhatian pada apa yang mereka katakan.
Menentukan cara-cara komunikasi seperti mempertahankan kontak mata, pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, menggunakan kertas dan pensil/bolpoin, gambar, ataupun papan tulis; bahan isyarat, perjelas arti dari komunikasi yang disampaikan.
Memperahankan kontak mata akan membuat klien interes selama komunikasi; jika klien dapat menggerakkan kepala, mengedipkan mata, atau senang dengan isyarst-isyarat sederhana, lebh baik dengan menggunakan pertaanyaan ya atau tidaak.
Kemampuan menulis kadang-kadang melelahkan klien, selain itu dapat mengakibatkan frustasi dalam upaya memenuhi kebutuhan komunikasi. Keluarga dapat bekerjasama unttuk membantu memenuhi kebutuhan klien.
Letakkan bel atau lampu panggilan ditempat yang mudah dijangkau dan berikan penjelasan cara menggunakannya.
Jwab panggial tersebut dengan segera. Penuhi kebutuhan klien. Katakan kepada klien bahwa perawat siap membantu jika dibutuhkan.
Ketergantungan kllien pada ventilator akan lebih baik, rileks, perasaan aman, dan mengerti bahwa selama menggunakan ventilator, perawat akan memenuhi segala kebutuhannya.
Buatlah catatan dikantor perawat tentang keadaan klien yang tak dapat berbicara.
Mengingatkan staf perawat untuk berespon dengan klien selama memberikan perawatan.
Buat rekaman pembicaraan klien
Rekaman pembicaraan klien dalam pita kaset secara periodik, hal ini dibutuhkan dalam memantau perkembangan klien.
Amplifier kecil membantu bila klien mengalami kesultan mendengar.
Anjurkan keluarga atau orang lain yang dekat denga klien untuk berbicara dengan klien, memberikan informasi tentang keluraganya dan keadaan yang sedang terjadi.
Keluarga dapat merasakaan akrab dengan berada dekat klien selama berbicara, dengan pengalaman ini dapat membantu atau mempertahankan kontak nyata seperti merasakan kehadiran anggota keluarga yang dapat mengurangi perasaan kaku.
Kolaborasi dengan ahli bicara bahasa.
Ahli terapi bicara bahasa dapat membantu dalam membentuk peningkatan latihan percakapan dan membantu petugas kesehatan untuk  mengembangkan metode komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien.

BAB 4
PENUTUP


Kesimpulan
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, neuropsikologis, MRI, SPECT, PET.Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.
Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenangkan penderita atau keluarganya.

Saran
Apabila ada keluarga yang mengalami gejala-gejala penyakit alzheimer, dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.    Berikan aktivitas pada siang hari
2.    Hindari tidur siang bila memungkinkan
3.    Kurangi minum menjelang tidur
4.    Usahakan siang hari terpapar sinar matahari
5.    Usahakan lingkungan rumah yang tenang dan stabil.
6.    Tanggapi pasien dengan sabar dan penuh kasih
7.    Buatlah aktivitas konstruktif untuk penyaluran gelisahnya.
8.    Hindari minuman berkafein untuk membantu mengurangi gejala cemas dan gelisah.
9.    Memberi dorongan aktivitas.
10.    Konseling dengan psikiater.


DAFTAR PUSTAKA


Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835
BR Reed. Alzheimer disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal cerebral blood flow, Archieves of Neurology, 1990(47):628-633
Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93
Endang Sulastri. Pengobatan Alzheimer dengan Clonidine. Archive of Neurology, 1989 (46): 376-378
Subarno.Diagnosa Alzheimer. Archive of Neurology. 1992 (49) : 927-932.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar