·
Definisi
Cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
·
Klasifikasi cedera kepala
berdasarkan nilai GCS:
1. Cedera
kepala ringan
Nilai GCS:
13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan: nyeri
kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio / hematoma.
2. Cedera
kepala sedang
Nilai GCS:
9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).
3. Cedera
kepala berat
Nilai GCS:
3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi,
hematoma dan edema serebral.
(Hudack dan
Gallo, 1996 : 226)
·
Anatomi
Fisiologi
Anatomi
Kepala
Tulang Tengkorak
Struktur
tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan
tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan
lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan
diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga
/ fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah
(berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak
tengah dan sereblum).
Meningen
Adalah
selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang berfungsi sebagai
pelindung. Pendukung jaringan-jaringan dibawahnya, meningen terdiri dari:
1. Durameter
(lapisan sebelah luar)
Selaput
keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter
ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.
2. Arakhnoid
(lapisan tengah)
Merupakan
selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah
kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3. Piameter
(lapisan sebelah dalam)
Merupakan
selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan
dengan araknoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
(Ganong,
2002)
Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
a)
Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan
paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan
sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.
Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah
dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri
terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai kortek serebri, terletak
diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan
dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita
serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di dalam substansial alba tertanam
masa substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik
dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan
dengan bagian tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian
tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan.
Konsep
fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral. Setiap hemisfer dibagi
dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:
ü
Lobus Frontalis : Kontrol motorik
gerakan volunteer, terutama fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral
tingkah laku dan etika.
ü
Lobus Temporal : Pendengaran,
keseimbangan, emosi dan memori.
ü
Lobus Oksipitalis : Visual senter,
mengenal objek.
ü
Lobus Parietalis : Fungsi sensori
umum, rasa (pengecapan)
b). Otak
tengah
c). Otak
belakang
Saraf-Saraf Otak:
a.
Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis
I)
Nervus
alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut.
Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup,
penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau de cologne,
dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
b.
Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus
optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum, kemudian
melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan
diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
c.
Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis
III)
Sifatnya
motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsi sebagai
penggerak bola mata.
d.
Nervus Troklearis (Nervus Kranialis
IV)
Sifatnya
motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
e.
Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis
V)
Nervus
Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan memberikan persarafan
ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah.
Nervus
trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
ü
Nervus oftalmikus sifatnya motorik
dan sensorik. Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.
ü
Nervus maksilaris sifatnya sensorik.
Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.
ü
Nervus mandibularis sifatnya motorik
dan sensorik. Fungsi : Rahang bawah dan lidah.
f.
Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik,
mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola mata.
g.
Nervus Facialis (Nervus Nervus
Kranialis VII)
Sifatnya
motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar
pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang mensarafi semua otot
ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai.
Fungsi: Otot
lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.
h.
Nervus Auditorius (Nervus Kranialis
VIII)
Sifatnya
sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran dari
telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
i.
Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya
majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
j.
Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya
majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.
k.
Nervus Assesoris (Nervus Kranialis
XI)
Sifatnya
motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.
l.
Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Sifatnya
motorik, mensarafi otot-otot lidah.
Fisiologi
Perdarahan
intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau
diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi
karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam
pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan
diatas biasanya bisa terlihat pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan
menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia lanjut dan membesar
secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial
bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau
kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan
kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia
lanjut.
1.
Hematoma Epidural
Berasal dari
perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang
tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri
darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bias segera timbul tetapi bisa juga
baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi
beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya
bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan
koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT Scan
darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
2.
Hematoma Subdural
Berasal dari
perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah
terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
Sakit kepala
yang menetap, Rasa mengantuk yang hilang-timbul, Linglung, Perubahan ingatan, Kelumpuhan
ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
C. Etiologi
1)
Trauma tajam
Kerusakan
terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya tertembak
peluru / benda tajam.
2)
Trauma tumpul
Kerusakan
menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
3)
Cedera akselerasi
Peristiwa
gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari
pukulan.
4)
Kon.tak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi
benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
5)
Kecelakaan lalu lintas
6)
Jatuh
7)
Kecelakaan industri
8)
Serangan yang disebabkan karena olah
raga
9)
Perkelahian
(Smeltzer,
2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
·
Patofisiologi
Cedera
kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan
autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera, dan
konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah satu otak akan
menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan
otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya tekanan
pada ruang kranium terus menerus meningkat.
Maka aliran
darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga
terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat
menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema
otak. Edema akan terus bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf,
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. (Price, 2005).
Edema
jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang akan menyebabkan herniasi
dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera kepala:
1)
Pola pernafasan
Trauma
serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang menyebabkan hipoksia jaringan
dan kesadaran menurun. Dan biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena
nafas dangkal, sehingga menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan
atau resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan laju
mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga menyebabkan
herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernafasan chyne stoke, selain itu
herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi neurogenik
central.
(Long, 1996;
Smeltzer 2001; Price, 1996)
2)
Mobilitas Fisik
Akibat
trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh, sebagai akibat
dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat menyebabkan
kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam memenuhi perawatan diri dalam
kehidupan sehari-hari dan terjadi gangguan tonus otot dan penampilan postur
abnormal, sehingga menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik.
(Doenges,
2000; Price, 2005)
3)
Keseimbangan Cairan
Trauma
kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi
hidrat yang seimbang, sehingga respon terhadap status berkurang dalam keadaan
stress psikologis makin banyak hormon anti diuretik dan main banyak aldosteron
diproduksi sehingga mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang
menyebabkan fraktur tengkorak akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis /
hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi disfungsi dan
penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan menimbulkan
dehidrasi.
(Price,
2005).
4)
Aktifitas Menelan
Adanya
trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer cerebral
akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang
dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi. Selain reflek
menelan dan batang otak mungkin hiperaktif / menurun sampai hilang sama sekali.
(Smeltzer,
2001; Price, 2005)
5)
Kemampuan Komunikasi
Pada pasien
dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi, disfungsi ini paling
sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera kepala, kerusakan ini
diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa
dan gangguan. Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer
cerebral dominan dapat menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan
bahasa dalam beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat
menyebabkan gangguan komunikasi verbal.
(Price,
2005).
6)
Gastrointestinal
Setelah
trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi
setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang bias dan merangsang aktifitas
hipotalamus dan stimulasi fagus yang dapat menyebabkan hiperkardium.
Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan kartikosteroid
dalam menangani cedera cerebral.
Hiperkardium
terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang
mempengaruhi produksi asam lambung.
(Price,
2005)
·
Manifestasi Klinik
A.
Cedera kepala ringan
ü
Kebingungan, sakit kepala, rasa
mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total
dalam beberapajam atau hari.
ü
Pusing, kesulitan berkonsentrasi,
pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar
dan kesulitan bekerja.
B.
Cedera kepala sedang
ü
Kelemahan pada salah satu tubuh yang
disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.
ü
Gangguan kesadaran, abnormalitas
pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, perubahan tanda-tanda vital,
gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
(Brunner
& Suddarth, 2001; www. Mediatore)
C.
Cedera kepala berat
D.
Amnesia dan tidak dapat mengingat
peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
ü
Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik
tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
·
Penataksanaan
a)
Dexamethason / kalmetason sebagai
pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b)
Therapi hiperventilasi (trauma
kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
c)
Pemberian analgetik
d)
Antibiotik yang mengandung barier
darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar