Rabu, 19 Desember 2012

CEDERA KEPALA



·         Definisi
Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
·         Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:
1. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio / hematoma.
2. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).
3. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.
(Hudack dan Gallo, 1996 : 226)
·         Anatomi Fisiologi
Anatomi Kepala
Tulang Tengkorak
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
Meningen
Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan dibawahnya, meningen terdiri dari:
1. Durameter (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.
2. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3. Piameter (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
(Ganong, 2002)
Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
a)      Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan.
Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral. Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:
ü  Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku dan etika.
ü  Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.
ü  Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
ü  Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)
b). Otak tengah
c). Otak belakang
Saraf-Saraf Otak:
a.       Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
b.      Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum, kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
c.       Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsi sebagai penggerak bola mata.
d.      Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
e.       Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah.
Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
ü  Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.
ü  Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.
ü  Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi : Rahang bawah dan lidah.
f.       Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola mata.
g.      Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai.
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.
h.      Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
i.         Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
j.        Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.
k.      Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)
Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.
l.         Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
Fisiologi
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
1.      Hematoma Epidural
Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bias segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
2.      Hematoma Subdural
Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
Sakit kepala yang menetap, Rasa mengantuk yang hilang-timbul, Linglung, Perubahan ingatan, Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

C.    Etiologi
1)      Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya tertembak peluru / benda tajam.
2)      Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
3)      Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.
4)      Kon.tak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
5)      Kecelakaan lalu lintas
6)      Jatuh
7)      Kecelakaan industri
8)      Serangan yang disebabkan karena olah raga
9)      Perkelahian
(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
·         Patofisiologi
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.
Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. (Price, 2005).
Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang akan menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera kepala:
1)      Pola pernafasan
Trauma serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan laju mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernafasan chyne stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi neurogenik central.
(Long, 1996; Smeltzer 2001; Price, 1996)
2)      Mobilitas Fisik
Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh, sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik.
(Doenges, 2000; Price, 2005)
3)      Keseimbangan Cairan
Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis makin banyak hormon anti diuretik dan main banyak aldosteron diproduksi sehingga mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis / hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi disfungsi dan penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan menimbulkan dehidrasi.
(Price, 2005).
4)      Aktifitas Menelan
Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi. Selain reflek menelan dan batang otak mungkin hiperaktif / menurun sampai hilang sama sekali.
(Smeltzer, 2001; Price, 2005)
5)      Kemampuan Komunikasi
Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi, disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer cerebral dominan dapat menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat menyebabkan gangguan komunikasi verbal.
(Price, 2005).
6)      Gastrointestinal
Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang bias dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulasi fagus yang dapat menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan kartikosteroid dalam menangani cedera cerebral.
Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung.
(Price, 2005)
·         Manifestasi Klinik
A.    Cedera kepala ringan
ü  Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapajam atau hari.
ü  Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
B.     Cedera kepala sedang
ü  Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.
ü  Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
(Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)
C.     Cedera kepala berat
D.    Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
ü  Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.


·         Penataksanaan
a)      Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b)      Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
c)      Pemberian analgetik
d)     Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.

Makalah Penyakit Kronis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam Lokakarya Nasional Keperawatan di Jakarta (1983) telah disepakati bahwa keperawatan adalah “suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia”. Dalam hal ini asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien bersifat komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik dalam kondisi sehat dan sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Sedangkan asuhan yang diberikan berupa bantuian-bantuan kepada pasien karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau kemauan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri.

Dengan itu kami mengangkat judul :
“ Menerapkan prinsip komonikasi Sesuai dengan Konsep Tumbuh Kembang  pada pasien kronis“




1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Apa yang di maksud dengan penyakit kronis?
1.2.2        Apa penyebab dari penyakit kronis?
1.2.3        Bagaimana cara menyampaikan berita buruk pada pasien kronis?
1.2.4        Bagaimana cara berkomonikasi dengan pasien kronis?

1.3  Tujuan

1.3.1        Menjelaskan tentang pengertian penyakit kronis
1.3.2        Menjelaskan penyebab dari timbulnya penyakit kronis
1.3.3        Memberikan pemaparan secara jelas mengenai penyampaian berita buruk terhadap pasien kronis
1.3.4         Menjelaskan bagaiman berkomonikasi dengan penderita penyakit kronis dengan benar

 
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian penyakit kronis
Penyakit kronis di definisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang, sebagian dari penatalaksanaan ini mencakup belajar untuk hidup dengan gejala kecacatan, sementara itu pula ada yang menghadapi segala bentuk perubahan identitas yang di akibatkan oleh penyakit.
2.2  Penyebab penyakit kronis
Penyakit kronis dapat di derita oleh semua kalangan maupun kelompok usia, tingkat sosial,ekonomi dan budaya. Kemajuan dalm teknologi perawatan dan farmakologi telah memperpanjang rentan kehidupan tanpa harus menyembuhkan penyebab penyakit kronis yang mendasari. Peningkatan dalam metode skrining dan diagnosa memungkinkan deteksi dini penyakit, sementara kondisi tersebut masih dapat di obati, dengan demikian juga meningkatkan umur panjang. Meskipun merupakan penyakit infeksi AIDS merupakan penyakit kronis karna perkembangan dan penggunaan medikasi baru untuk mengobati infeksi opotunistik.
            Meskipun teknologi dapat menyelamatkan hidup, teknologi juga dapat mengakibatkan masalah masalah kronis yang hampir sama melemahkannya seperti yang di rancang untuk menyembuhkannnya. Sebagai cintoh teknologi sangat meningkatkan angka bertahan hidup bayi bayi yang sangat premature namun pada saat yang sama teknologi tersebut juga membuat mereka rentan terhadap komplikasi seperti ketergantungan terhadap ventilator dan kebutaan.
2.3  Fase kehilangan pada penyakit kronis dan tekhnik komonikasi
Tiap fase yang di alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda. Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pul. Dalam berkomonikasi perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.

1.      Fase Denial ( pengikraran )
Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “.
Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dlam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
Teknik komonikasi yang di gunakan :
a.       Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif dalam menghadapi kehilangan dan kematian
b.      Selalu berada di dekat klien
c.       Pertahankan kontak mata

2.      Fase anger ( marah )
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang yang ada di sekitarnya, ornag ornag tertentu atau di tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepai.
Teknik komonikasi yang di gunakan ;
A.    Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya
B.     Hearing.. hearing.. dan hearing..
C.     Menggunakan teknik respek


3.      Fase bargening ( tawar menawar )
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan. Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang sakit bukan anak saya
Teknik komonikasi yang di gunakan :
a.       Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar
b.      Menanyakan kepada pasien apa yang di ingnkan

4.      Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut atau dengan ungkapan yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libugo menurun
Teknik komonikasi yang di gunakan :
a.       Jangan mencoba menenangkan klien
b.      Biarkan klien dan keluarga mengekspresikan kesedihannya.

5.      Fase acceptance ( penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.  Fase menerima ini biasanya di nyatakan dengan kata kata ini  apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai fase fase tersebut dan masuk pada fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.

Teknik komonikasi yang di gunakan perawat adalah meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk mendiskusikan perasaan keluarga terhadap kematian pasien
D.    Menyampaikan berita buruk
langkah langkah nya adalah ;
1.      Persiapan
Pahami anda sendiri sebagai perawat dan siapkan diri anda dengan berbagai macam informasi
Yang paling baik dalam menyampaikan berita buruk adalah dengan bertemu langsung dengan orang yang kita tuju. Menyampaikan denagn tidak jelas dan menakutkan hendaknya di hindari seperti : “ ibu sri, datanglah segera, saya mempunyai sesuatu yang harus saya katakan kepada anda
Selain itu alangkah lebih baiknya jika perawat menyediakan tempat duduk bagi perawat, dokter dan orang yang akan di ajak bicara, duduk dan tampakkan bahwa anda memberikan perhatian dan tidak dalam keadaan tergesa gesa. Cegah berbicara sambil berlari atau di tempat yang tidak semestinya misal : koridor rumah sakit yang banyak ornag.
Beritahukan rekan anda bahwa anda tidak bisa di ganggu selagi anda menyampaikan berita kepada pasien. Atur suara agar anda terlihat normal, tidak erogi atau bergetar
2.      Membuat hubungan
Buatlah percakapan awal, walaupun anda mengira bahwa orang yang akan anda ajak bicara sudah memiliki firasat apa yang akan anda sampaikan.
Beberapa tugas penting di awal ;
a.       Percakapan awal
Perkenalkan diri anda dan orang ornag bersama anda, jika di sana terdapat ornag yang elum di ketahui oleh perawat maka cari tahu siapa dia.
b.      Kaji status resipien ( orang yang anda tuju untuk di kabrkan dengan kabr buruk)
Tanyakan kabar atau kenyamanan dan kebutuhannya. Anda harus mengkaji tentnag pemahaman resipien terhadap situasi.
Hal ini akan membantu perawat dalam membuat transisi dalam menyampaikan kabar buruk dan akan membantu perawat dalam mengkaji persepsi pasien terhadap keadaan. Perawat dapat mengutarakan pertanyaan seperyi “ mengapa tes itu di lakukan?”
3.      Berbagi cerita
Ada kiasan bahwa kabar buruk adalah seperti bom. Yang radiasinya akan mengenai semua yang ada lingkungannya.
a.       Bicara pelan
b.      Berikan peringatan awal “ saya takut saya mempunyai kabar yang kuran baik untuk anda.... “
c.       Sampaikan berita yang akan di sampaikan, jika itu adalah suatu diagnosa, minta dokter untuk menyampaikannya langsung. Kalimat hendaknya singkat dan beberapa kalimat pendek saja.

4.      Akibat dari berita

a.       Tunggu reaksi dan tenang
Misal : menangis, pingsan dll
b.      Liat dan berikan respon sebagai tanda empati
Dan perawat bisa menyampaikan “ saya paham, hal ini sulit bagi anda. Apa yang ada  dalam pikiran anda saat ini?
c.       Ikuti dan perhatikan resipien selanjutnya
Anda dapat membantu resipien agar dapat menguasai kontrol dengan menanyakan
 “ apakah anda membutuhkan informasi baru atau kita bisa bicara di kemudian?

5.      Berikan perhatian dan hormati perasaan dan kebutuhan diri perawat

Sering kali perwat merasa berat hati dan merasa stres ketika menyampikan brita buruk. Oleh karna itu berbagi pengalaman dan perasaan terhadap teman sejawat sangat di perlukan dan bisa sebagai support system bagi diri anda sendiri unntuk menenangkan diri dengan bermeditasi dan berdoa

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat di simpulkan bahwa teknologi juga mempengaruhi terhadap terjangkitnya penyakit kronis, kenapa? Karna teknologi juga dapat mengakibatkan masalah masalah kronis yang hampir sama melemahkannya seperti yang di rancang untuk menyembuhkannnya. Sebagai cintoh teknologi sangat meningkatkan angka bertahan hidup bayi bayi yang sangat premature namun pada saat yang sama teknologi tersebut juga membuat mereka rentan terhadap komplikasi seperti ketergantungan terhadap ventilator dan kebutaan.
3.2 Saran
Sebagai calon perawat profesional, alangkah lebih baik nya jika dalam memberikan asuhan keperawatan menggunakan teknik teknik komonikasi secara benar dan bijaksana sehingga terciptalah generasi generasi penerus yang berkualitas




DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah.2001.Komonikasi Terapeutik.Jakarta.Aditama
Akses tanggal : 23 Desember 2011
Pukul : 14.00 Wib
Akses : 20 Desenber 2011
Pukul : 16.00 Wib
Akses : 20 Desember 2011
Pukul : 15.00