BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun
1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois
Alzheimer.Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami
gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ke tempat
tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak,
koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang
difus dan simetri, dan secara nikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami
neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia
harapan hidup pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan
semakin meningkat. Di lain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang
sosial ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi
dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan
mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai
anggota keluarga. Hal ini menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak,
tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi, yang merupakan
penyebab utama demensia.Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma
klinis dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek
lainnya. Defenisi demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans
Administration Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang
didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5
komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan
kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit
alzheimer (50- 60%) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan
penderita demensia terutama penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin
meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di
Amerika dengan insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita
alzheimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa definisi dari alzaemer?
1.2.2
Apa etiologinya?
1.2.3
Bagimana patofisiologi dari alzaemer?
1.2.4
Bagaimana manifestasi klinisnya?
1.2.5
Bagaimana pemeriksaan penunjang dari alzaemer?
1.2.6
Bagaimana penatalaksanaannya?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Menjelaskan apa
etiologi dari alzaemer
1.3.2
Menjelaskann
etiologi alzaemer
1.3.3
Menjelaskan
petofisiologi alzaemer
1.3.4
Menjelaskan
manifestasi klinis dari alzaemer
1.3.5
Menjelaskan
tentang pemeriksaan penunjang dari alzaemer
1.3.6
Menjelaskan
tentang penatalaksanaan dari alzaemer
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Alzheimer
merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak
dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. (
Suddart, & Brunner, 2002 ).
Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya
ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan
ditujukan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan
kemandirian penderita.
(Dr. Sofi Kumala Dewi,
dkk, 2008)
Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif
otak yang progresif, dimana sel-sel otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan
gangguan mental berupa kepikunan (demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi
memori (daya ingat), berbahasa, berpikir dan berperilaku.Sebagian besar demensia
disebabkan oleh penyakit Alzheimer (60%). Demensia adalah suatu penyakit yang
dapat ditatalaksana, dan demensia bukan merupakan bagian normal dari proses
penuaan.
Alzheimer
adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang
orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses
penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai
sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul
pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia
40 tahun.
(Perawatan Medikal Bedah :
jilid 1 hal 1003)
Sehingga
dengan demikian Alzheimer adalah penyakit kronik, degeneratif yang ditandai
dengan penurunan daya ingat, intelektual, kepribadian yang dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan merawat diri. Penyakit ini menyerang orang berusia 65
tahun keatas.
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif
yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada
usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang
menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. Penyakit
alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40
tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan
umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun.
Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok
usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80
tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit
alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar,
18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui
dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita
lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan
terhadap jenis kelamin.
2.2
Etiologi alzheimer
Penyebab yang pasti belum diketahui.Beberapa alternatif
penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi
imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter,
defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer.Dasar kelainan
patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah
spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan
penurunan daya ingat secara progresif.
Faktor
pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif
neuron.Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya
formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non
spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga
ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Faktor penyebab Alzheimer
1.
Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus
alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan
garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita
demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal Pemeriksaan
genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat
kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula
pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah
berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan
penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan
40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.Keadaan ini mendukung bahwa
faktor genetik berperan dalam penyaki alzheimer.Pada sporadik non familial
(50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan
ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika
pada alzheimer.
2.
Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada
keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis,
ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut
menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan
remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan
kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a)
manifestasi klinik yang sama
b)
Tidak adanya respon imun yang
spesifik
c)
Adanya plak amyloid pada
susunan saraf pusat
d)
Timbulnya gejala mioklonus
e) Adanya gambaran spongioform
3.
Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga
dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar lain,
aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial
pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan
senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara
pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer
atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan
keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan
depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke
intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi
seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
4.
Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang
menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat
dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid.Tiroid Hashimoto merupakan
penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena
peranan faktor immunitas.
5.
Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit
alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita
demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary
tangles.
6.
Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita
alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a)
Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap
aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi
jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas
kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan
biosintesa asetilkolin.Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik
ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus
basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu
ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit alzheimer, dimana
pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan
berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa
kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer
b)
Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopamin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita alzheimer.Hilangnya neuron bagian dorsal lokus
seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri,
berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak
penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik
neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi
noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c)
Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap
aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial,
kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia
penelitian berbeda-beda.
d)
Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil
metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita
alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari
meynert.Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi,
pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior
peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal
serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh
formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e)
MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono
amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi
serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk
deaminasi terutama dopamin.Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO
A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal
danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
2.3
Patofisiologi
Alzheimer muncul ketika Gumpalan tidak normal yang lengket di sel sel otak yang disebut
“beta-amyloid” bertumpuk hingga membentuk plak, sehingga merusak fungsi kognitif. Pada dasarnya amyloid
dapat dipergunakan untuk melindungi otak dari beberpa pathogen sebagai bagian
system kekebalan tubuh bawaan, namun
karna beberapa sebab yang telah di jelaskan di etiologi di atas, amyloid ini
berubah menjadi gumpalan padat membentuk plak. Amyloid
merupakan bentuk umum dari serpihan protein yang dihasilkan secara normal oleh
tubuh, pada otak yang sehat amyloid ini akan dihancurkan dan dieliminasi oleh
Beta-Amyloid atau amyloid precursor protein (APP). Namun pada penderita
alzheimer amyloid ini akan terakumulasi menjadi padat dan keras sehingga tidak
dapat larut.
Selain terakumulasinya amyloid, pada penderita alzheimer terjadi penyusutan dan kekusutan pada sel-sel otak sehingga terbentuk rongga-rongga yang berisi cairan cerebrospinal dalam otak hal ini akan mengakibatkan otak kehilangan kemampuan memorinya, lambat laun rongga ini akan membesar sehingga kerusakan otak menjadi lebih parah bahkan mengakibatkan kematian bagi penderita alzheimer.
Selain terakumulasinya amyloid, pada penderita alzheimer terjadi penyusutan dan kekusutan pada sel-sel otak sehingga terbentuk rongga-rongga yang berisi cairan cerebrospinal dalam otak hal ini akan mengakibatkan otak kehilangan kemampuan memorinya, lambat laun rongga ini akan membesar sehingga kerusakan otak menjadi lebih parah bahkan mengakibatkan kematian bagi penderita alzheimer.
2.4
Manifestasi
Klinis Alzheimer
Perubahan mental penderita alzheimer terjadi sangat
perlahan-lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti
kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit
alzheimer yaitu :
Tahap awal
ü Tidak ingat akan kejadian yang belum lama terjadi
ü Tidak dapat mengenali sesuatu/benda yang sebenarnya sudah pernah
tahu
ü Hilang ingatan
ü Gangguan emosi seperti depresi, ketakutan
ü Lesu, tidak acuh pada aktivitas sekitarnya.
Tahap akhir
ü Tidak dapat mengenali saudaranya sendiri
ü Berangan-angan
ü Sukar berjalan, lama kelamaan berjalan dengan menyeretkan kaki
ü Mengalami serangan tiba-tiba (seizures) pada beberapa penderita.
2.5
Pemeriksaan penunjang
a)
Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi.Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering
kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal,
anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri
dari:
a. Neurofibrillary tangles
(NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga
terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus
seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada
penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson,
SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi
dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve
ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler,
astrosit, mikroglia.Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat
berhubungan dengan kromosom 21.Senile plaque ini terutama terdapat pada
neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan
pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik.Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987)
mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik.
Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
b) Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada
penyakit alzheimer sangat selektif.Kematian neuron pada neokorteks terutama
didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis.Juga ditemukan
pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe
nukleus dan substanasia nigra.Kematian sel neuron kolinergik terutama pada
nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus
seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum
dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam
pengobatan penyakit alzheimer.
c) Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat
menggeser nukleus.Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah
NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial,
amygdala dan insula.Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
d) Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada
enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala.Sejumlah kecil pada
korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama
dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran
histopatologi penyakit parkinson.
Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
e)
Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia.Fungsi
pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan
fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test
psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh
beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan
ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi
neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting
karena:
ü Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang
normal.
ü Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.
ü Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan
oleh demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a
Registry for Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian
neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi gangguan
fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
a.
Verbal fluency animal category
b.
Modified boston naming test
c.
mini mental state
d.
Word list memory
e.
Constructional praxis
f.
Word list recall
g.
Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol.
f)
CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer
antemortem.Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya
penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor
serebri.Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan
gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran
ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson,
binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel
berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini
mental. Pada MRI ditemukan peningkatan
intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada
ventrikel lateral).Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal.Selain
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah
subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran
sisterna basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia
dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran
(atropi) dari hipokampus.
g)
EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis.
Sedang pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik
h)
PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran
darah, metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat
menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan
fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian
neuropatologi.
i)
SPECT (Single Photon Emission
Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita
alzheimer.Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan
defisit kogitif.Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara
rutin.
j)
Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita
alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab
penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium,
Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis,
skreening antibody yang dilakukan secara selektif.
2.6
Penatalaksanaan
ü Pencegahan
Manajemen dari faktor-faktor resiko mempunyai target
pada berbagai level, tergantung dari latar belakang medis pasien dan dimana
pasien berada pada saat berlangsungnya penyakit. Chui et. al mengusulkan suatu
klasifikasi yang terintegrasi dari cedera vaskuler otak berdasar pada strategi
pengobatan. Untuk tiap kasus klinis harus fokus secara sistematik pada strategi
pengobatan yang spesifik, yang ditujukan pada pencegahan primer (faktor
resiko), pencegahan sekunder (mekanisme dasar kerusakan vaskuler otak) dan
pencegahan tersier (pada kasus dimana terjadi gangguan fungsional). Klasifikasi
ini juga menekankan kebutuhan akan deteksi dini pada pasien-pasien dengan
gangguan kognisi yang minimal yang berada pada resiko untuk berkembangnya
alzheimer. Pasien-pasien ini akan menerima keuntungan dari pengobatan yang
agresif.
ü Pengobatan penyakit alzheimer
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh
karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas.Pengobatan simptomatik dan
suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek
yang menguntungkan.
·
kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor
untuk pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer
didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat inidikatakan dapat memperbaiki memori
danapraksia selama pemberian berlangsung.
Beberapa peneliti mengatakan
bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada
orang normal dan penderita alzheimer.
·
Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer
didapatkan
penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2
ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan
neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3
gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi
kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
·
Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat
memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi
pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis
yang bermakna.
·
Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat
disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang
merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg
peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk
memperbaiki fungsi kognitif
·
Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis
(delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari
selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline
25-100 mg/hari)
·
Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria
dengan bantuan enzym ALC transferase.Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat
meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam
pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengumpulan
data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan
meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik,
dan pengkajian psikososial.
1.
Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur
(lebih sering pada kelompok usia lanjut, 50% populasi berusia lebih dari
85tahun), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit,nomor register, diagnostik medis.
b. Keluhan utama
Keluhan
utama yang sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk menerima pertolongan
kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan kelumpuhan gerak
ekstermitas.
c. Riwayat Penyakit Saat ini
Pada anamnesis, klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan yang
baru. Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien sering
mengalami tingkah laku aneh dan kacau serta sering keluar sendiri tanpa meminta
izin pada anggota keluarga yang lain sehingga sangat meresahkan anggota
keluarga yang menjaga klien.
Pada
tahap lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien menjadi
tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar
sehari-hari, atau mengenali anggota keluarga.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi.
Diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti-ansietas
(benzodiazepin), penggunaan obat-obat antikolinergik dalam jangka waktu
yang lama, dan riwayat sindrom Down yang pada suatu saat kemudian menderita
penyakit alzheimer pada usia empat puluhan.
e. Riwayat
penyakit keluarga
Penyebab penyakit alzheimer ditemukan memilki hubungan genetik yang jelas.
Diperkirakan 10-30% klien alzheimer familiar (FAD). Pengkajian adanya anggota
generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus diperlukan
untuk melihat adanya komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepatt
progresifnya penyakit.
f. Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan
tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit
alzheimer adalah penurunan kognitif dan penurunan memori (ingatan).
2.
Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan
anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat
berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem dan terarah (B1-B6) dengan faktor pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (brain) dan dihubungkan dengan keluhan dari
klien.
3.
Keadaan Umum
Klien
dengan penyakit alzheimer umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan
degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme. Adanya perubahan pada tanda
vital meliputi brakikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan.
B1 ( breathing)
Gangguan fungsi pernapasan berkaitan dengan hipoventilasi, inaktivitas,
aspirasi makanan atau saliva, dan berkurangnya fungsi pembersihan saluran
napas.
Inspeksi,
didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan
produksi sputum,, sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.
Palpasi,
traktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi,
adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru.
Auskultasi,
bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien dengan inaktivitas.
B2 (blood)
Hipotensi postural berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga
gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh sistem saraf otonom.
B3 (brain)
Pengkajian B3(brain) merupakan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
Inspeksi
umum didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan
status kognitif klien.
Pemeriksaan
fungsi serebri.
Status
mental:biasanya status mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan
penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori baik jangka
pendek maupun memori jangka panjang.
2. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I, biasanya pada
klien dengan penyakit alzheimer tidak ada kelainann dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II, hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan
sesuai tingkat usia, klien
dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
Saraf III, IV, VI, pada beberapa kasus
penyakit alzheimer biasanya tidak ditemukan adanya
kelainan pada nervus ini.
Saraf V, wajah simetris dan tidak ada kelainan pada nervus
ini.
Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal.
Saraf VIII, adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan
dengan proses senilis dan
penurunan aliran darah regional.
Saraf IX dan X, didapatkan kesulitan
dalam menelan makanan yang berhubungan dengan
perubahan status kognitif.
Saraf XI, tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
tranpezius.
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi indra
pengecapan normal.
3. Sistem motorik
Inspeksi umum, pada tahap
lanjut, klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi motorik secara
umum. Tonus ototdidapat
meningkat. Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena adanya perubahan status kognitif dan
ketidak kooperatifan klien
dengan metode pemeriksaan.
4. Pemeriksaan refleks
Pada
tahap lanjut penyakit alzheimer, sering didapatkan bahwa klien kehilangan
refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan
kepala cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong.
Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah satunya ke depan
atau ke belakang) dapat menimbulkan sering jatuh.
5. Sistem sensorik
Sesuai berlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan
terhadap sensasi sensorik secara progresif. Penurunan sensorik yang ada
merupakan hasil dari neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi
kognitif dan persepsi klien secara umum.
B4
(bledder)
Pada tahap lanjut, beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya,
biasanya yang berhubungan dengan penurunan status kognitif pada klien
alzheimer. Penurunan reflekss kandung kemih yang bersifat progresif dan klien
mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol
motorik dan postiral. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
denga teknik steril.
B5
(bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Karena
penurunan aktivitas umum, klien sering mengalami konstipasi.
B6
(bone)
Pada tahap lanjut biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan masalah pada
pola aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adaanyaa gangguan
keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan disebabkan karena
perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada seluruh gerakan akan memberikan
risiko pada trauma fisik bila melakukan aktivitas.
B. Diagnosa keperawatan
1)
Defisit perawatan diri ( makan, minum, berpakaian, higine) berhubungan
dengan proses perubahan proses berfikir.
2)
Perubahan nutrisi: kurang daari kebutuhan yang berhubungan dengan
intake tidak adekuat,
perubahan proses pikir
3) Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan ketidakmampuan menyelesaikan masalah, perubahan intelektual
4) Hambatan komunikasi verbal
berhubungan dengan perubahan intelektual (pikun, disorientasi, penurunan
kemampuan mengatasi masalah)
C. Rencana keperawatan
1. Defisit
perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan
perubahan proses pikir.
Tujuan : Dalam waktu 2x24
jam terdapat perilaku peningkatan dalam pemenuhan
perawatan diri.
Kriteria hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan
merawat diri dan mngidentifikasi personal/keluarga yang dapat
membantu.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan
ADL.
|
Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan
pertemuan kebutuhan individual.
|
Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan
bantu bila perlu.
|
Klien dalam keadan cemas dan tergantung. Hal ini
dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
|
Ajarkan dan dukung klien selama aktivitas.
|
Dukungan pada klien selama aktivitas kehidupan
sehari-hari dapat meningkatkan perawatan diri.
|
Rencanakan tindakan untuk defisit motorik seperti
tempatkan makanan dan peralatan didekat klien agar mampu sendiri
mengambilnya.
|
Klien akan mampu melakukan aktivitas sendiri untuk
memenuhi perawatan dirinya.
|
Modifikasi lingkungan.
|
Modifikasi lingkungan diperlukan untuk mengompensasi
ketidakmampuan fungsi.
|
Gunakan pagar di sekeliling tempat tidur.
|
Gunakan pagar di sekeliling tempat tidur baik tempat
tidur di rumah sakit dan dirumah, atau sebuah tali yang diikatkan pada kaki
tempat tidur untuk memberi bantuan dalam mendorong diri untuk bangun tanpa
bantuan orang lain serta mencegah klien mengalami trauma.
|
Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan
menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi billa kondisi
memungkinkan.
|
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat
menimbulkan masalaah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah
neurogenik.
|
Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan
meningkatkan aktivitas.
|
Meningkatkan latihan dan menolong mencegah
konstipasi.
|
Kolaborasi
Pemberian supositoria dan pelumas feses/pencahar.
|
Pertolongan pertama terhadap fungsi bowel atau
BAB>.
|
Konsul ke dokter terapi okupasi.
|
Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan
khusus.
|
2. Perubahan nutrisi:kurang daari kebutuhan yang berhubungan dengan intake
tidak adekuat, perubahan proses pikir
Tujuan : Dalam waktu
2x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh,
memperlihatkan kenaikan
berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Evaluasi kemampuan makan klien.
|
Klien mengalami kesulitan dalam mempertahankan berat
badan mereka. Mulut mereka kering akibat obatt-obatan dan mengalami kesulitan
mengunyah dan menelan.
Klien berisiko terjadi aspirasi penurunan refleks
batuk.
|
Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan.
|
Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan
intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam
otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
|
Manajemen mencapai kemampuan menelan.
a.
Gangguan menelan disebabkan oleh tremor pada lidah,
ragu-ragu dalam memulai menelan, kesulitan dalam membentuk makanan dalam
bentuk bolus.
b.
Makanan setengah padat dengan sedikit air
memudahkan untuk menelan.
c.
Klien dianjurkan untuk menelan secara berurutan.
d.
Klien diajarkan untuk meletakkan makanan diatas
lidah, menutup bibir dan gigi dan menelan.
e.
Klien dianjurkan untuk mengunyah pertama kali
pada satu sisi mulut dan kemudian kesisi lain.
f.
Untuk mengontrol saliva, klien dianjurkan untuk
menahan kepala tegak dan menbuat keadaan sadar untuk menelan.
g.
Masase otot wajah dan leher sebelum makan dapat
membantu.
h.
Berikan makanan kecil daan lunak.
|
Meningkaatkan kemapuan klien dalam menelan daan
dapat membantu pemenuhan nutrisi klien via oral. Tujuan lain adalah mencegah
terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, mencegah gangguan pada
laambung.
|
Memonitor pemakaian alat bantu.
|
Pemanasan elektrik digunakan untuk menjaga makanan
tetap hangat dan klien diizinkan untuk istirahat selama waktu tang ditetapkan
untuk makan, alat-alat khusus juga membantu makan.
Penggunaan piring yang stabil, cangkir yang tidak
pecah bila jatuh, dan alat-alat makan dapat digenggam sendiri digunakan
sebagai alat bantu.
|
Kaji fungsi sistem gastrointestinal yang meliputi
suara bising usus, catat terjadi perubahan dalam lambung seperti mual,
muntah. Observasi perubahan pergerakan usus misalnya diare, konstipasi.
|
Fungsi sistem gastrointestinal sangat penting untuk
memasukkan makanan. Vetilator daapat menyebabkan kembung lambung dan
perdarahan lambung.
|
Anjurkan pemberian cairan 2500cc/hari selama tidak
terjadi gangguan jantung.
|
Mencegah terjadinya dehidrasi akibat penggunaan
ventilator selama tidak sadar terjadinya konstipasi.
|
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan
seperti serum, transferin, BUN/creatine dan glukosa.
|
Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan
nutrisi yang dibutuhkan klien.
|
3. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan perubahan proses
pikir dan disfungsi karena perkembangan penyakit.
Tujuan :
Dalam waktu 2x24 jam koping individu menjadi efektif.
Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang
terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan
penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan mengabungkan
perubahan kedalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri
yang negatif.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji perubahan dari gangguan persepsi daan hubungan
dengan derajat ketdakmampuan.
|
Menentukan bantuan individual dalaam menyusun
rencana perawatan ataau pemilihan intervensi.
|
Dukung kemampuan koping.
|
Kepatuhan terhadap program latihan dan berjalan
membantu memperlambat kemajuan penyakit.
Dukungan dan sumber bantuan dapat diberikan melalui
ketekunan berdoa dan penekanan keluar terhadap aktivitas dengan
mempertahankan partisipasi aktiff.
|
Catat ketika klien menyatakan terpengaruh seperti
sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematian.
|
Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau
perasaan negatif terhadap gambaran tubuh dan kemampuan yang menunjukkan
kebutuhan dan intervensi serta dukungan emosional.
|
Pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh,
mengingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat
menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.
|
Membantu klien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua
bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Mengizinkan klien untuk merasakan
adanya harapan dan mulai menerima situasi baru.
|
Beri dukungan psikologis secara menyeluruh.
|
Klien alzheimer sering merasa maalu, apatis, tidak
adekuat,bosan dan merasaa sendiri. Persaan ini dapat disebabkan akibat keadan
fisik yang lambat dan upaya yang besar dibutuhkan terhadap tugas-tugas kecil.
Klien dibantu dan didukung untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (seperti
meningkatkan mobilitas).
|
Bentuk program aktivitas pada keseluruhan hari.
|
Bentuk program aktivitas pada keseluruhan hari untuk
mencegah waktu tidur yang terlalu banyak yang dapat mengarah pada ada tidak
adanya keinginan daan apatis. Setiap upaya dibuat untuk mendukung klien
keluar dari tugas-tugas yang termasuk koping dengan kebutuhan mereka seriap
hari dan untuk membantu klien mandiri. Apapun yang dilakukan hanya untuk
keamanan sewaktu mencapai tujuan dengan meningkatnya kemampuan koping.
|
Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien
melakukan hal-hal untuk dirinya semaksimal mungkin.
|
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harga diri serta memepengaruhi proses rehabilitasi.
|
Dukung perilaku/usaha seperti peningkatan
minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
|
Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan
pengertian tentang peran individu masa mendatang.
|
Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan
kosentrasi, letargi, dan witdhrawal.
|
Daapaat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya
terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana memerlukan memerlukan intervensi
dam evaluasi lebuh lanjut.
|
Kolaborasi:
Rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila
ada indikasi.
|
Dapat memfasilitasi perubahn peran yang penting
untuk perkembangan perasaan. Kerjasama fisioterapy, psikoteraphy obat-obatan,
dan dukungan partisipasi kelompok dapat menolong mengurangi depresi yang juga
sering muncul pada keadaan ini.
|
4. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perubahan proses
pikir.
Tujuan : Dalam waktu
2x24 jam terjadi peniingkatan dalam perilaku berkomunikasi
yang efektif sesuai dengan kondisi dan keadaan klien.
Kriteria hasil : Membuat teknik/metode komuunikasi yang dapat dimengerti
sesuai
kebutuhan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Kaji kemampuan klien untuk berkomunikasi.
|
Gangguan berbicara ada pada banyak klien yang
mengalami penyakit alzheimer. Bicra mereka yang lemah, menoton, halus
menuntuk kesadaran berupaya untuk bicara dengan lambat dengan penekanan
perhatian pada apa yang mereka katakan.
|
Menentukan cara-cara komunikasi seperti
mempertahankan kontak mata, pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak,
menggunakan kertas dan pensil/bolpoin, gambar, ataupun papan tulis; bahan
isyarat, perjelas arti dari komunikasi yang disampaikan.
|
Memperahankan kontak mata akan membuat klien interes
selama komunikasi; jika klien dapat menggerakkan kepala, mengedipkan mata,
atau senang dengan isyarst-isyarat sederhana, lebh baik dengan menggunakan
pertaanyaan ya atau tidaak.
Kemampuan menulis kadang-kadang melelahkan klien,
selain itu dapat mengakibatkan frustasi dalam upaya memenuhi kebutuhan
komunikasi. Keluarga dapat bekerjasama unttuk membantu memenuhi kebutuhan
klien.
|
Letakkan bel atau lampu panggilan ditempat yang
mudah dijangkau dan berikan penjelasan cara menggunakannya.
Jwab panggial tersebut dengan segera. Penuhi
kebutuhan klien. Katakan kepada klien bahwa perawat siap membantu jika
dibutuhkan.
|
Ketergantungan kllien pada ventilator akan lebih
baik, rileks, perasaan aman, dan mengerti bahwa selama menggunakan
ventilator, perawat akan memenuhi segala kebutuhannya.
|
Buatlah catatan dikantor perawat tentang keadaan
klien yang tak dapat berbicara.
|
Mengingatkan staf perawat untuk berespon dengan klien
selama memberikan perawatan.
|
Buat rekaman pembicaraan klien
|
Rekaman pembicaraan klien dalam pita kaset secara
periodik, hal ini dibutuhkan dalam memantau perkembangan klien.
Amplifier kecil membantu bila klien mengalami
kesultan mendengar.
|
Anjurkan keluarga atau orang lain yang dekat denga
klien untuk berbicara dengan klien, memberikan informasi tentang keluraganya
dan keadaan yang sedang terjadi.
|
Keluarga dapat merasakaan akrab dengan berada dekat
klien selama berbicara, dengan pengalaman ini dapat membantu atau
mempertahankan kontak nyata seperti merasakan kehadiran anggota keluarga yang
dapat mengurangi perasaan kaku.
|
Kolaborasi dengan ahli bicara bahasa.
|
Ahli terapi bicara bahasa dapat membantu dalam
membentuk peningkatan latihan percakapan dan membantu petugas kesehatan
untuk mengembangkan metode komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien.
|
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berdasarkan
gejala-gejala klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti
neuropatologi, neuropsikologis, MRI, SPECT, PET.Sampai saat ini penyebab yang
pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat
keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.
Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan,
hanya dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenangkan
penderita atau keluarganya.
Saran
Apabila ada keluarga yang mengalami gejala-gejala penyakit
alzheimer, dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Berikan aktivitas pada siang
hari
2.
Hindari tidur siang bila
memungkinkan
3.
Kurangi minum menjelang tidur
4.
Usahakan siang hari terpapar
sinar matahari
5.
Usahakan lingkungan rumah yang
tenang dan stabil.
6.
Tanggapi pasien dengan sabar
dan penuh kasih
7.
Buatlah aktivitas konstruktif
untuk penyaluran gelisahnya.
8.
Hindari minuman berkafein untuk
membantu mengurangi gejala cemas dan gelisah.
9.
Memberi dorongan aktivitas.
10.
Konseling dengan psikiater.
DAFTAR PUSTAKA
Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835
BR Reed. Alzheimer
disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal cerebral blood flow,
Archieves of Neurology, 1990(47):628-633
Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93
Endang Sulastri. Pengobatan Alzheimer dengan Clonidine. Archive of Neurology,
1989 (46): 376-378
Subarno.Diagnosa
Alzheimer. Archive of Neurology. 1992 (49) : 927-932.