BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Dewasa ini ganguan pada sistem-sistem organ
manusia semakin berkembang. Gangguan tersebut ada yang timbul karena factor
gaya hidup yang kurang tepat dan ada juga yang timbul sejak bayi lahir
(konginetal). Kelainan konginetal bisa disebabkan oleh kegagalan pada saat
proses embriologi, tetapi ada juga yang disebabkan oleh kelainan genetik. Salah
satu contoh kelainan genetik pada system pernapasan adalah cystic
fibrosis. Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan
sebagai penyakit multisistem. Tanda dan gejala pertama biasanya terjadi pada
masa kanak-kanak, namun sekitar 5% pasien di Amerika Serikat didiagnosis pada
waktu dewasa.
Prevalensi dari cystic fibrosis atau yang biasa
disingkat dengan CF beragam, tergantung dari etnis suatu populasi. CF dideteksi
pada sekitar 1 dari 3000 kelahiran hidup pada populasi Kaukasia di Amerika
bagian Utara dan Eropa Utara, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada African
Amerikan (Negro), dan 1 dari 90.000 kelahiran hidup pada populasi Asia di
HawaiiKarena adanya perkembangan dalam terapi, >41% pasien yang sekarang
dewasa (18 tahun) dan 13% melewati umur 30 tahun. Median harapan hidup untuk
pasien CF adalah >41 tahun sehingga CF tidak lagi merupakan penyakit
pediatrik, dan internis harus siap untuk menentukan diagnosis CF dan menangani
banyak komplikasinya. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri
kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan
bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal,
fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.
Cystic fibrosis bisa terjadi akibat adanya
mutasi genetic yang membentuk protein CF transmembrane conductance regulator
(CFTR) yang terletak pada kromosom 7. Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada
cystic fibrosis tidak diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa
kekurangan klorida yang terjadi pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret
di paru-paru yang mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system.imun
Teori yang lain menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan
peningkatan perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan
reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori
tersebut mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di
cystic fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang
kental. Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru,
kerusakan pada pancreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus
halus oleh kerasnay feses dll.
Begitu besaranya resiko perkembangan penyakit
cystic fibrosis, sebagai tenaga kesehatan diharapkan bias mengidentifikasi
secara dini sebagai upaya pencegahn penyebaran penyakit ke berbagai organ lain.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1.2.1
Apa anatomi fisiologi
fibrosis kistik?
1.2.2
Apa devinisi fibrosis kistik?
1.2.3
Bagaimana etiologi fibrosis
kistik?
1.2.4
Bagaimana patofisiologi fibrosis
kistik?
1.2.5
Bagaimana manifestasi klinisfibrosis
kistik?
1.2.6
Bagaimana pemeriksaan
penunjang fibrosis kistik?
1.2.7
Bagaimana pencegahan fibrosis
kistik?
1.2.8
Bagaimana Asuhan keperawatan fibrosis
kistik?
1.3 TUJUAN
1.3.1
Tujuan umum
Makalah ini dibuat sebagai
pedoman atau acuan kami untuk mengetahui, memahami, dan menggali ilmu tentang
Sistem Respirasi, serta untuk mengetahui informasi-informasi mengenai Sistem
Respirasi lebih dalam.
1.3.2
Tujuan khusus
a. Mengetahui
tentang anatomi fisiologi fibrosis kistik
b. Mengetahui
tentang definisi fibrosis kistik
c. Mengetahui
tentang etiologifibrosis kistik
d. Mengetahui
tentang patofisiologi fibrosis kistik
e. Mengetahui
tentang manifestasi klinis fibrosis kistik
f. Mengetahui
tentang pemeriksaan penunjang fibrosis kistik
g. Mengetahui
tentang pencegahan fibrosis kistik
h. Mengetahui
tentang Asuhan Keperawatan fibrosis
kistik
1.4
MANFAAT
1.4.1
Bagi penulis setelah menyelesaikan makalah ini
diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan
tentang system respirasi.
1.4.2
Bagi pembaca diharapkan bagi
pembaca dapat mengetahui tentang pola tidur yang normal lebih dalam sehingga
dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2..1.
Anatomi & fisiologi paru-paru.
Paru-paru adalah organ
pada sistem pernapasan, yang berfungsi menukar oksigen dari udara luar dengan
karbon dioksida dari darah melalui proses respirasi. Respirasi merupakan proses
pertukaran gas yang keluar masuk saluran pernafasan, melibatkan sistem
kardiovaskuler, sistem pulmonary dan kondisi hematologis. Paru-paru terletak
pada rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada. Pada bagian tengah itu
terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.
Paru-paru dibungkus oleh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi
menjadi dua, yaitu : pleura viseral dan parietal. Pleura viseral (selaput dada
pembungkus) merupakan selaput yang langsung membungkus paru-paru. Pleura
parietal merupakan selaput paru-paru yang melapisi bagian dalam dinding dada.
Antara kedua pleura, terdapat sebuah rongga yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal, kavum pleura menjadi hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan yang berguna untuk melumasi
permukaan pleura, untuk menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada.
Dilihat dari struktur anatominya,
paru-paru dibagi menjadi dua lobus, yaitu :
1.
Lobus paru-paru kanan,
terdiri dari tiga lobus, yaitu :
a.
Lobus pulmo dekstra
superior
b.
Lobus medial
c.
Lobus pulmo dekstra
inferior
2.
Lobus paru-paru kiri,
terdiri dari dua lobus, yaitu :
a.
Lobus pulmo sinistra
superior
b.
Lobus pulmo sinistra
inferior
1.
Difusi
dan perfusi
Difusi merupakan gerakan molekul dari
suatu daerah dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih
rendah.Difusi gas pernapasan terjadi di membran kapiler alveolar dan kecepatan difusi
dapat dipengaruhi oleh ketebalan membran. Peningkatan ketebalan membrane
merintangi proses kecepatan difusi karena hal tersebut membuat gas memerlukan
waktu lebih lama untuk melewati membrane tersebut. Klien yang mengalami edema
pulmonar, atau efusi pulmonar Membrane memiliki ketebalan membrane alveolar
kapiler yang meningkat akan mengakibatkan proses difusi yang lambat, pertukaran
gas pernapasan yang lambat dan menganggu proses pengiriman oksigen ke jaringan.
Daerah permukaan membran dapat mengalami
perubahan sebagai akibat suatu penyakit kronik, penyakit akut, atau proses pembedahan.
Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit maka darah permukaan menjadi
berkurang O2 alveoli berpindah ke kapiler paru, CO2 kapiler paru berpindah ke
alveoli.
Faktor yang mempengaruhi difusi :
a) Luas
permukaan paru
b) Tebal
membrane respirasi
c) Jumlah
eryth/kadar Hb
d) Perbedaan
tekanan dan konsentrasi gas
e) Waktu
difusi
f) Afinitas
gas
Perfusi
pulmonal adalah aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal O2 diangkut dlm
darah;dalam eritrosit bergabung dgn Hbà(oksi
Hb) /Oksihaemoglobin (98,5%) dalam plasma sebagai O2 yg larut dlm plasma (1,5%)
CO2 dlm darah ditrasport sbg bikarbonat. Dalam eritosit sbg natrium bikarbonat.
Dalam plasma sbg kalium bikarbonat Dalam
larutan bergabung dengan Hb dan protein plasma 5 – 7 %àC02
larut dalam plasma 15 – 20 %à
Carbamoni Hb (carbamate) àHbNHCO3
Hb + CO2 HbC060 – 80%àbikarbonat àHCO3
CO2 + H2O H2CO3 - H+ + CO3-
2.
Pertukaran
gas
Pertukaran gas antara O2 dengan CO2 terjadi di dalam alveolus
dan jaringan tubuh, melalui proses difusi. Oksigen yang sampai di alveolus akan
berdifusi menembus selaput alveolus dan berikatan dengan haemoglobin (Hb) dalam
darah yang disebut deoksigenasi dan menghasilkan senyawa oksihemoglobin (HbO)
seperti reaksi berikut :
Sekitar 97% oksigen dalam bentuk senyawa oksihemoglobin,
hanya 2 – 3% yang larut dalam plasma darah akan dibawa oleh darah ke seluruh
jaringan tubuh, dan selanjutnya akan terjadi pelepasan oksigen secara difusi
dari darah ke jaringan tubuh, seperti reaksi berikut : Karbondioksida (CO2)
yang dihasilkan dari proses respirasi sel akan berdifusi ke dalam darah yang
selanjutnya akan diangkut ke paru-paru untuk dikeluarkan sebagai udara
pernapasan.
Ada 3 (tiga) cara pengangkutan CO2 : Sebagai ion karbonat
(HCO3), sekitar 60 – 70%. Sebagai karbominohemoglobin (HbCO2), sekitar 25%.
Sebagai asam karbonat (H2CO3) sekitar 6 – 10%.
3.
Transpor
oksigen
Sistem transportasi oksigen terdiri dari
system paru dan sitem kardiovaskular. Proses pengantaran ini tergantung pada jumlah
oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi),aliran darah ke paru-paru dan
jaringan (perfusi), kecepatan divusi dan kapasitas membawa oksigen. Kapasitas
darah untuk membawa oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut dalam
plasma, jumlah hemoglobin dan kecenderungan hemoglobin untuk berikatan dengan
oksigen (Ahrens, 1990).Jumlah oksigen yang larut dalam plasma relatif kecil,
yakni hanya sekitar 3%.Sebagian besar oksigen ditransportasi oleh hemoglobin.
Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen dan karbon dioksida. Molekul
hemoglobin dicampur dengan oksigen untuk membentuk oksi hemoglobin. Pembentukan
oksi hemoglobin dengan mudah berbalik (revesibel), sehingga memungkinkan
hemoglobin dan oksigen berpisah, membuat oksigen menjadi bebas.Sehingga oksigen
ini bias masuk ke dalam jaringan.
2..2.
DEFINISI
Cytic fibrosis (CF) adalah kelainan
genetic yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologik yang
mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran. Merupakan kelainan
monogenetic yang ditemukan sebagai penyakit multisystem.( Asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan system pernapasan, Irman somantri).
Fibrosis kistik adalah kelainan genetik yg
bersifat resesis heterogen(dari ayah dan ibu keduanya harus punya) dengan
gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran
fibrosis kistik.
Fibrosis Kistik adalah suatu penyakit
keturunan yang menyebabkan kelenjar tertentu menghasilkan sekret abnormal,
abnormal dan akhirnya yang mempengaruhi saluran pencernaan dan paru-paru.
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik
multisistem yang ditandai dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru
obstruktif progresif dan insufisiensi pankreas dengan gangguan
absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang
bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologis yang mencerminkan
mutasi pada gen-gen regulator transmembran fibrosis kistik (cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator/CFTR).
Cystic
fibrosis merupakan gangguan monogenic yang
ditemukan sebagai penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya
infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan
bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan
disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi
urogenital.
Umumnya pasien-pasien dengan fibrosis
kistik datang pada ahli THT karena penyakit sinonasal yang dikeluhkannya.
Kemajuan perkembangan bidang THT saat ini juga menduga bahwa penyakit otitis
media dan adenotonsiler dapat muncul atau merupakan komplikasi fibrosis kistik,
dimana secara prevalensi dan patofisiologis sama dengan pasien-pasien
yang tanpa fibrosis kistik. Otitis media sebenarnya prevalensinya lebih jarang
terjadi pada pasien dengan fibrosis kistik dibanding pasien tanpa fibrosis
kistik sehingga masih terdapat kontoversial.
2..3.
Etiologi
Fibrosis kistik merupakan penyakit yang diwariskan secara
resesive autosomal. Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya fibrosis
kistik telah diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai cystic fibrosis
transmembrane-conductance regulator glycoprotein (CFTR gene) yang
terletak pada lengan panjang kromosom no 7 (Irman, 2009).
Protein CFTR merupakan rantai
polipeptida tunggal, mengandung 1480 asam amino, yang sepertinya berfungsi
untuk cyclic AMP–regulated Cl– channel dan dari namanya, mengatur channel ion
lainnya. Bentuk CFTR yang terproses lengkap ditemukan pada membran plasma di
epithelial normal. Penelitian biokimia mengindikasikan bahwa mutasi F508
menyebabkan kerusakan proses dan degradasi intraseluler pada protein CFTR.
Sehingga alpanya CFTR pada membrane plasma merupakan pusat dari patofisiologi
molecular akibat mutasi F508 dan mutasi kelompok I-II lainnya. Namun, mutasi
kelompok III-IV menghasilkan protein CFTR yang telah diproses lengkap namun
tidak berfungsi atau hanya sedikit berfungsi pada membrane plasma.
Gen CFTR ini membuat protein yang
mengontrol perpindahan garam dan air di dalam dan di luar sel di dalam tubuh.
Orang dengan cystic fibrosis, gen tersebut tidak bekerja dengan efektif.
Hal ini menyebabkan kental dan lengketnya mucus serta sangat asinya keringat
yang dapat menjadi cirri utama dari cystic fibrosis.
Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak diketahui
secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang terjadi
pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang mengandung
bakteri yang tidak terdeteksi oleh system imun. Teori yang lain menyebutkan bahwa
kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan perlawanan produksi sodium dan
klorida yang menyebabkan pertambahan reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan
kekentalan mucus. Teori-teori tersebut mendukung sebagian besar observasi
tentang terjadinya kerusakan di cystic fibrosis yang menghambat jalanya organ
yang dibuat dengan secret yang kental. Hambatan ini menyebabkan perubahan
bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan pada pancreas karena akumulasi enzim
digestive, hambatan di usus halus oleh kerasnay feses dll.
2..4.
Pathofisiologi dan WOC
Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal
resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi geb ini
menyebabkan hilangnya fenilalanin pada rantai asam ammino 508 yang dikenal
sebagai regulator transmembran fibrosis kistik (CF T R).
Protein CF T R merupakan rantai asam amino yang
berfungsi sebagai saluran Cl- diatur AMP siklik. Proses pembentukan CF T R
seluruhnya ditemukan pada membran plasma epitel normal. Mutasi DF 508
menyebabkan proses yang tidak benar dan pemecahan protein CF T R intraseluler
sehingga tidak ditemukannya protein CF T R pada lokasi selluler.
Disfungsi epitel adalah epitel yang dirusak oleh
fibrosis kistik memperlihatkan fungsi yang berbeda, misalnya bersifat volume
sekretoris atau pankreas dan bersifat garam absorbsi tetapi tidak volime
absorbsi atau saluran keringat dmana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan
Cl- yang disekresikan tinggi.
Pada paru manusia, sekret yang tebal dan lengket
menyumbat saluran nafas distal dan kelenjar submukosa sehingga menutupi
permukaan saluran nafas dan sekret yang tebal dan kental ini adalah media yang
baik untuk tumbuhnya kuman patogen yang tidak mudah untuk dieradikasi
seprtipseudomonas aureginosa, staphy lococcus aureus dan lain-lain, sehingga
terjadi infiltrasi banyak neutrofil.
2..5.
Manifestasi klinis
a.
Pada saat lahir, fungsi paru-paru penderita masih normal,
gangguan pernafasan baru terjadi beberapa waktu kemudian. Lendir yang kental pada akhirnya menyumbat
saluran udara kecil, yang kemudian mengalami peradangan.
b.
Hampir sekitar 90-100% pasien menunjukan penyakit sinus
secara radiologis. Frekwensi polip nasi pada pasien-pasien F fibrosis kistik
bervariasi antara 6-67%. Gejala klinis sinusitis yang ditandai dengan nyeri,
discharge, demam atau postnasal drip, hanya ditemukan sekitar 10% pada
pasien-pasien dengan fibrosis kistik. Hampir semua pasien-pasien fibrosis
kistik yang menunjukkan bukti kelainan secara radiologis malahan tidak
menunjukan gejala klinis. Fenomena ini mungkin mewakili kondisi sesungguhnya
dari stadium asimtomatis, atau ini diduga merupakan kondisi kronik perjalanan
penyakitnya dimana pasien telah beradaptasi dengan gejala sinusitisnya.
Gejala klinis pasien yang dicurigai
fibrosis kistik menurut Brihaye:
a.
Obstruksi hidung.
b. Nasal discharge yang makin memburuk.
c. Nyeri wajah.
d. Batuk yang makin memburuk.
e.
Demam
Selain gejala klinis diatas, juga
perlu ditelusuri status kesehatan parunya mengingat:
a.
Sinusitis kronik sering dikaitkan dengan infeksi bakteri
endobronkia dan juga menimbulkan dampak penyakit pulmo berulang (reactivity)
dan kekronisan dari penyakit saluran sinobronkial.
b.
Penurunan kemampuan fisik juga berkorelasi dengan
eksaserbasi akut sinusitis atau memburuknya kondisi kronik penyakit paru.
2..6.
Pemeriksaan
Penunjang.
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis FK antara lain:
2.6.1.
Pemeriksaan laboratorium
a.
Test kandungan chlorida keringat (sweat chloride
test) :
1.
Dilakukan pengumpulan dan analisis komposisi keringkat
dengan metoda iontophoresis pilocarpine.
2.
Konsentrasi ion klorida sekitar 60 mEq/L keatas
merupakan khas diagnostik. Nilai normal rata-rata konsentrasi klorida dibawah
30 mEq/L.
3.
Nilai antara 30 – 60 mEq/L mungkin kondisis heterozygous
carriers, dan tidak dapat diidentifikasi secara akurat menggunakan test ini
(SCT).
b.
Test Prenatal :
1. Pada
masa kehamilan dapat dilakukan pemeriksaan melalui test villi korionik (chronic
villous testing) pada usia kehamilan sekitar 10-12 minggu.
2. Pemeriksaan
ini hanya dilakukan untuk mendiagnosis KF yang akan diterminasi kehamilannya.
Pemeriksaan prenatal ini sudah jarang dilakukan karena harapan hidup
pasien-pasien dengan KF sekarang telah meningkat.
c.
Test genetika.
1. Test genetik melalui test darah
dapat mendeteksi kondisi karier dengan keakuratan sampai 95%. Testing in
direkomendasikan untuk individu-individu yang mempunyai riwaya keluarga dengan
KF dan untuk pasangan-pasangan yang merencanakan kehamilan, namun tidak
diindikasikan untuk keperluan skrining secara umum.
2. Skrining bayi baru lahir dapat
dilakukan melalui pengukuran kadar tripsin immunoreaktive pada blood spot
test Guthrie.
2.6.2.
Pemeriksaan radiologis CT scan
Pemeriksaan CT scan paranasal dilakukan melalui potongan
aksial dan koronal tanpa kontras. Umumnya pasien dengan KF memberiksan hasil :
a. Lebih dari 90% menunjukkan bukti
adanya sinusitis kronik yang ditandai dengan opaksifikasi, pergeseran ke medial
dinding lateral kavum nasi pada daerah meatus media, serta demineralisasi
prosesus unsinatus.
b. Kelainan berupa buging ke arah
medial dari kedua dinding lateral hidung disertai gambaran mukus viskus di
sinus maksila terdapat hampir pada 12% pasien dan merupakan stadium mucucelelike
yang harus segera ditangani dengan pembedahan.
c. Sinusitis kronik sering menyebabkan
gangguan peneumatisasi dan hipoplasia dari sinus maksila dan etmoid, juga
menyebabkan terganggunya pembentukan sinus frontalis. Pasien-pasien adolesen
dengan KF sering didapatkan tidak terbentuknya sinus frontalis pada gambaran CT
scannya.
2.6.3.
Pemeriksaan Kultur
Aspirasi sinus penting dilakukan
untuk pemeriksaan kultur pada pasien-pasien FK untuk mendeteksi adanya
keterlibatan infeksi kuman pseudomonas.
a. Pengambilan kultur sebaiknya
dilakukan aspirasi transantral sinus maksila dan tak ada gunanya mengambil di
daerah nasofaring, tenggorok atau septum. Dari penelitian organisme yang sering
ditemukan dari hasil kultur pasien-pasien dengan FK adalah pseudomonas
(65%), haemophilus influenzae (50%), Alpha-haemolticstreptococci
(25%) dan kuman-kuman anaerob seperti peptostreptococcus serta Bactroides
(25%). Sensitivitas terapi organisme-organisme dengan antibiotika sama
sensitivnya pada pasien-pasien FK dibanding dengan yang nonFK, kecuali pada
kuman pseudomonas.
b. Pasien-pasien dengan sinusitis akut
tanpa FK kuman penyebabnya umumnya terdiri dari Pneumococcus, H Influenza
dan Moraxella catarrhalis, sedang jika sinusitis kronik selain kuman
diatas ditambah dengan organisme Staphylococcus aureus dan kuman anaerob
seperti Bacteroides, Veillonella dan Fusobacterium.
2.7. Pencegahan primer, sekunder.
2.7.1.
Pencegahan primer.
Konsumsi makanan yang baik, aktivitas fisik,
serta dukungan psikis dan sosial. Makanan sebaiknya mengandung kalori dan
protein yang cukup agar pertumbuhan penderita tetap berlangsung normal.
Penderita harus mengonsumsi lemak dalam jumlah yang lebih banyak karena mereka
umumnya tidak dapat menyerap lemak dengan baik. Mencegah perkawinan dengan
penderita fibrosiskistik.
2.7.2.
Pencegahan sekunder
Penatalaksaan
fibrosis kistik meliputi dua hal yaitu medikamentosa dan pembedahan.
a. Medikamentosa.
Pasien
fibrosis kistik mungkin mengeluhkan gejala kronik dari obstruksi hidungnya
berupa discharge purulen atau batuknya sehingga dibutuhkan terapi antibiotik
efektif terhadap kuman pseudomonas dan staphylococci serta digabung dengan
irigasi rongga hidung rutin (aggresive nasal toilet) mungkin dapat meredakan
gejala klinis yang ada.
Irigasi
rongga hidung memegang peranan penting yang sebaiknya dilakukan rutin
pada pasien yang mulai timbul keluhan. Keluhan ini terjadi karena gangguan
mucociliary clearance secara kronik. Irigasi menggunakan saline bertujuan
menurunkan kolonisasi bakteri, mencuci keluar sekresi lendir yang menyebabkan
obstruksi, dan secara berkala membantu vaskonstriksi pembuluh darah konka.
Irigasi juga diperlukan terhadap semua intervensi pembedahan karena walau
tujuan pembedahan membesarkan ostium sinus namun tidak dituukan terhadap
kerusakan mucociliary clearance yang ditimbulkan akibat pembedahan.
Beberapa
ahli menggunakan antibiotik antipseudomonal seperti tobramycin sebagai tambahan
dalam irigasi rongga hidung dan dilaporkan berhasil menurunkan kolonisasi
bakteri pseudomonas.
b. Pembedahan.
Terapi
pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa tidak efektif, bagaimanapun juga
pertimbangan pembedahan harus benar-benar matang pada pasien FK karena
bahaya-bahaya kemungkinan terbentuknya mucus kental yang banyak selama operasi
dengan anastesi umum yang resikonya semakin meningkat sejalan dengan lamanya
intubasi.
a) Indikasi pembedahan pada pasien FK
menurut Nishioka (Kris, 2008) :
1.
Obstruksi nasi persistent yang disebabkan polip nasi dengan
atau tanpa penonjolan ke medial dinding lateral hidung.
2.
Medialisasi dinding lateal hidung yang dibuktikan melalui CT
scan walau tanpa disertai gejala subjektif obstruksi nasi, pembedahan perlu
dilakukan karena tingginya prevalensi mucocelelike formations.
3.
Timbulnya eksaserbasi penyakit paru yang berkorelasi dengan
eksaserbasi penyakit sinonasalnya, memburuknya status penyakit parunya atau
penurunan aktifitas fisik serta kegagalan terapi medikamentosa.
4.
Nyeri wajah atau nyeri kepala yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya selain adanya FK yang dapat menggangu kualitas hidup penderita.
5.
Tak ada perbaikan
dari gejala klinis sinonasal setelah terapi medikamentosa adekuat.
b) Kontraindikasi dilakukan pembedahan (Kris,
2008) :
1.
Penyakit paru obstruktif kronik berat yang beresiko saat
dilakukan anastesi.
2.
Pasien dengan FK sangat beresiko terhadap defisiensi vitamin
K akibat insufisiensi pankreas, penyakit hepatobilier atau keduanya dan jika
tidak disuplement akan beresiko perdarahan18, yang ditandai dengan pemanjangan
masa prothrombin time(PT) dan harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum dilakukan
pembedahan.
3.
Sinusitis kronik dapat menyebabkan terganggunya/terlambatnya
pneumatisasi dan perkembangan dari sinus maksila, etmoid dan frontal pada
pasien FK khususnya anak-anak sehingga ini terkadang kurang diperhitungkan.
Dalam hal diatas perlu dilakukan CT scan coronal dan axial preoperatif untuk
kenfirmasi sebelumnya. Abnormalitas anatomis ini menjadikan pembedahan harus
lebih berhati-hati.
c) Pertimbangan-pertimbangan penting
lainnya dalam prosedur pembedahah (Kris, 2008) :
1.
Jika mungkin pembedahan dilakukan dalam waktu kurang dari 1
jam untuk menghindari masalah respirasi (respiratory compromise) yang tentu
saja durasi operasi ini bergantung dari luasnya penyakit, banyaknya kehilangan
darah, metoda/prosedur pembedahan dan pengalaman ahli bedahnya. Prinsip utama
yang tetap harus dipegang adalah seaman dan semaksimal mungkin menghindari
komplikasi.
2.
Angkat polip sebersih dan seaman mungkin sambil mengingat
kemungkinan terjadi kekambuhan. Prosedur ini secara umum ditujukan untuk
perbaikan (improvement) tidak untuk penyembuhan (cure). Tinggalkan residual
polips jika landmarks adekuat tidak memungkinkan.
3.
Penggunaan pembedahan sinus endoskopik canggih menggunakan
microdebrider sangat memudahkan dalam pengangkatan jaringan patologis (polips)
lebih bersih dan akurat karna visualisasi lebih baik. Teknik ini telah mulai
banyak dilakukan oleh para ahli bedah.
4.
Dari beberapa penelitian polipektomi dikombinasi dengan
prosedur drainase sinus angka kekambuhan dan periode bebas gejala menjadi lebih
lama.
d) Perawatan pasca operasi juga sangat
memegang peranan penting dalam keberhasilan penatalaksanaan (Kris, 2008) :
1.
Pasien dirawat dirumah sakit sampai fungsi parunya
benar-benar adekuat (dievaluasi minimal 1 malam)
2.
Lakukan irigasi rutin (aggresively) menggunakan normal
saline atau hypertonic sodium chloride solution.
3.
Pencucian/irigasi pasca operasi mencegah terbentuknya
sinekia. Khusus pasien-pasien anak yang tidak dapat dilakukan irigasi dapat
dilakukan 2-3 minggu kemudian di ruang operasi.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1.
Pengkajian.
3.1.1.
Anamnesa.
Data
yang dikumpulkan selama pengkajian digunakan sebagai dasar untutk membuat
rencana asuahan keperawatan klien. Proses pengkajian keperawatan harus
dilakukan dengan sangat individual (sesuai masalah dan kebutuhan klien saat
ini). Dalam menelaah status pernapasan klien, perawat melakukan wawancara dan
pemeriksaan fisik untuk memaksimalkan data yang dikumpulkan tanpa harus
menambah distres pernapasan klien. Setelah pengkajian awal perawat memilih
komponen pemeriksaan yang sesuai dengan tingkat distres pernapasan yang dialami
klien.
Data-data
yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien.
Pada
tahap ini perawat perlu mengetahui tentang: nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan dan pekerjaan pasien.
2. Keluhan Utama.
Pasien dengan cystic fibrosis
didapatkan keluhan berupa infeksi saluran napas kronis berupa batuk kronis
berdahak sering berulang, batuk dapat disertai darah (hemoptysis), sesak napas,
selera makan menurun, demam, insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas dan
abnomalitas kelenjar keringat.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Riwayat
penyakit sekarang pada pasien cystic fibrosis menunjukkan adanya mutasi genetic
yang membentuk protein CF transmembrane conductance regulator (CFTR) yang
terletak pada kromosom 7.
4. Riwayat penyakit dahulu.
Kedua
orang tua merupakan carrier dari gen resesif CFTR atau salah satu dari orang
tua ada yang menderita cystic fibrosis. Selain itu perlu ditanyakan juga apakah
pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumonia, gagal jantung,
tauma dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya
faktor preisposisi.
5. Riwayat penyakit keluarga.
Perlu
ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
disinyalir sebagai penyebab cystic fibfosis.
6. Riwayat psikososial.
Meliputi
perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
3.1.2. PENGKAJIAN
B1 (Breath)
Meliputi sesak napas, paru kekurangan oksigen sehingga jaringan
rusak dan kulit berwarna kebiruan (sianosis) dan batuk yang semakin hari
semakin buruk
B2 (Blood)
Memungkinkan terjadinya hiperglikemi akibat pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik akibat mukus yang berlebihan hingga merusak
pankreas.
B3 (Brain) : Normal.
B4 (Bladder) : Normal.
B5 (Bowel) :
Pada bowel kelainanya meliputi diare, dehidrasi, nyeri dan
ketidaknyamanan pad perut karena terlalu banyak gas dalam usus sebgai akibat
disfungsi enzim digestine. Selain itu, dapat ditemui kelainan berupa nafsu makan
besr tetapi tidak menambah berat badan dan pertumbuhan (cenderung menurun).
B6 (Bone) : Normal.
3.1.3. Diagnosa Keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus
yang kental dan banyak.
2.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
3.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, munta.
4.
Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mencerna nutrien, kehilangan nafsu makan (penyakit tahap
lanjut).
5.
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan
tubuh, adanya mukus sebagai media pertumbuhan organism,
3.1.4. Rencana Intervensi.
A. Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak.
a) Tujuan : bersihan jalan
nafas efektif, tidak ada sekret/mucus.
b)
Kriteria
Hasil : Menunjukan batuk yang efektif dan peningkatan
pertukaran udara dalam paru-paru.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
MANDIRI
1.Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis :
Peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
2.
Kaji kepatenan jalan nafas.
3.Evaluasi gerakan dada dan auskultasi untuk
bunyi nafas bilateral
KOLABORASI
1.
Berikan fisioterapi dada sesuai indikasi, contoh drainase
postural, perkusi.
2.
Berikan bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi, contoh aminophilin,
metaproterenol sulfat (Alupent)
3.
Bantu bronkoskopi serat optic, bila diindikasikan
|
1.
Peninggia kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan
dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distress berat akan
mencari posisi yang paling mudah untuk bernafas.
2.
Obstruksi dapat disebabkan oleh akumulasi secret, perlengketan
mukosa, perdarahan, spasme bronkus, dan/atau masalah dengan posisi
trakeotomi/selang endotrakeal.
3.
Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas melalui area paru
menunjukkan letak selang tepat/tidak menutupi jalan nafas.
4.
Meningkatkan ventilasi pada semua segmen paru dan alat drainase
secret.
5.
Meningkatkan ventilasi dan membuang secret dengan relaksasi otot
halus/spasme bronkus.
6.
Dapat dilakukan untuk membuang secret/perlengketan mukosa
|
B.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
a)
Tujuan : Mempertahankan
oksigenasi atau ventilasi adekuat.
b)
Kriteria
hasil :
1.
Pasien
memperlihatkan frekuensi napas efektif.
2.
Bebas dari
distress pernapasan.
3.
GDA dalam
rentang normal. (PH [,35-,45], PaCO2 [35-45 mmHG], PaO2
[80-95 mmHg], Saturasi O2 [95-99%], HCO3-
[22-26 mEq/L])
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
MANDIRI
a.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
b.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi
yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nfas bibir sesuai
kebutuhan/ toleransi individu.
c.
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara/atau
bunyi tambahan.
d.
Palpasi fremitus
KOLABORASI
a.
Berikan oksigen dengan metode tepat
|
a.
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan/atau
kronisnya proses penyakit.
b.
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi
dan latihan nafas untuk menurunkan kolps jalan nafas, dispnea dan kerja
nafas.
c.
Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udar atau area
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ bertahannya secret.
d.
Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairn atau
udaraa terjebak.
e.
Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas. Oksigen
biasanya diberikan dengan kanula nasal pada obstrksi paru sebagian
|
C.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah.
a)
Tujuan : Menormalkan volume cairan dalam tubuh kembali normal.
b)
Kriteria hasil :
1. Tekanan darah 120/80 mmHg.
2. Kecepatan nadi normal (60/100 x menit)
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
MANDIRI
a. Awasi tanda vital, mis : TD frkuensi jantung,
nadi.
b. Ukur/hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan. Catat
pengeluaran yang tidak tampak.
c. Timbang berat badan tiap hari
KOLABORASI
a. Berikan cairan IV dalam observasi
ketat/dengan alat control sesuai indikasi
|
a. Kekurangan/perpindahan cairan meningkatkan
frekuensi jantung, menurunkan TD, dan mengurangi volume nadi.
b. Memberikan informasi tentang status cairan
umum. Kecenderungan cairan negative dapat menurunkan terjadinya efisit.
c. Perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam
air tubuh otal.
d. Memperbaiki/mempertahankan volume sirkulasi
dan tekanan osmotic
|
D.
Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mencerna nutrien, kehilangan nafsu makan (penyakit tahap
lanjut).
a) Tujuan :
Meningkatkan nafsu makan pasien.
b) Kriteria hasil :
Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
a. Identifikasi factor yang menimbulkan mual dan
muntah, misal : sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnea berat, nyeri.
b. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang
sesering mungkin.
c. Jadwalkan pengobatan prnafasan sedikitnya 1
jam sebelum makan.
d. Auskultasi bunyi usus.
e. Beri makan porsi kecil dan sering termasuk
makanan kering dan/atau makanan yang menarik untk pasien
|
a. Pilihan intervensi tergantung pada penyebab
masalah.
b.Menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari
linkungan pasien dan dapat menurunkan mual.
c. Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan
pengobatan ini.
d. Bunyi usus mungkin menurun/tidak ada bila
proses infeksi berat/memanjang.
e. Tindakan ini dapat meningkatkan masukan
meskipun nafu makan mungkin lambat untuk kembali
|
E. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan
kerusakan pertahanan tubuh, adanya mukus sebagai media pertumbuhan organism.
a) Tujuan : Mencegah terjadinya komplikasi yang
disebabkan karena infeksi.
b) Kriteria Hasil :
1. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa
komplikasi.
2. Menurunnya risiko infeksi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
MANDIRI
a. Tunjukkan/dorong teknik mencuci tangan yang
baik.
b. Awasi
suhu.
c. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif,
perubahan posisi sering dan masukkan cairan adekuat.
d. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan
tiu dan sputum.
e. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
KOLABORASI
a. Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau
penghisapan untuk pewarnaan kuman Gram, kultur/sensitivitas.
b. Berikan antibiotik sesuai indikasi
|
a. Efektif berarti menurunkan
penyebaran/tambahan infeksi.
b. Demam dapat terjadi karena infeks dan/atau
dehidrasi.
c. Aktivitas ini menunjukkan mobilisasi dan
pengeluaran secret untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi paru.
d. Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan.
e. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum
dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
f. Dilakukan untuk mengidentifikasi organism
penyebab dari kerentanan terhadap berbagai antimicrobial
g. Dapat diberikan untuk organism khusus yang
teridentifikasi dengan kultur dan sensitivitas, atau berikan secara
profilaktik karena risiko tinggi
|
3.1.5. IMPLEMENTASI.
Pada tahap ini
untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana
perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat
waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan
mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta
mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan
diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan jalan nafas, mempermudah
pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah komplikasi, memperlambat
memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses penyakit (Doenges
Marilynn E, 2000, Remcana Asuhan Keperawatan.
3.1.6. Evaluasi Keperawatan.
Pada tahap akhir proses
keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan
untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai, Evaluasi merupakan
proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon
pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan
kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil pasien
yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah
ditetapkan yaitu : jalan nafas efektif, pola nafas efektif, pertukaran gas
adekuat, masukan nutrisi adekuat, infeksi tidak terjadi, intolerans aktivitas
meningkat, kecemasan berkurang/hilang, klien memahami kondisi penyakitnya.
(Keliat Budi Anna, 1994, Proses Keperawatan)
3.2. Legal dan etis.
Etika berkenaan
dengan pengkajian kehidupan moral secara sistematis dan dirancang untuk melihat
apa yang harus dikerjakan, apa yang harus dipertimbangkan sebelum tindakan
tersebut dilakukan, dan ini menjadi acuan untuk melihat suatu tindakan benar
atau salah secara moral. Terdapat beberapa prinsip etik dalam pelayanan
kesehatan dan keperawatan yaitu :
a. Otonomi (penentu pilihan).
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai
hak klien untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan menghargai hak autonomi
berarti perawat menyadari keunikan induvidu secara holistik.
b. Beneficience (do good).
Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat
memiliki kewajiban untuk melakukan dengan baik, yaitu mengimplemtasikan
tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.
c. Justice (perlakuan adil)
Perawat hendaknya mengambil keputusan dengan
menggunakan rasa keadilan.
d. Non maleficience (do no harm).
Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan
perawat tidak menyebabkan bahaya bagi kliennya. Prinsip ini adalah prinsip
dasar sebagaian besar kode etik keperawatan. Bahaya dapat berarti dengan
sengaja membahayakan, resiko membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.
e. Fidelity (setia).
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan
tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.
f. Veracity (kebenaran).
Veracity mengacu pada mengatakan kebenaran. Sebagian
besar anak-anak diajarkan untuk selalu berkata jujur, tetapi bagi orang dewasa,
pilihannya sering kali kurang jelas.
g. Moral right.
Hak-hak klien harus dihargai dan dilindungi.
Hak-hak tersebut menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self-determination,
perlakuan adil dan integritas diri.
Kesimpulan
Cytic fibrosis (CF) adalah kelainan
genetic yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologik yang
mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran. Merupakan kelainan monogenetic
yang ditemukan sebagai penyakit multisystem.( Asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan system pernapasan, Irman somantri).
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik
multisistem yang ditandai dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru
obstruktif progresif dan insufisiensi pankreas dengan gangguan
absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang
bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologis yang mencerminkan
mutasi pada gen-gen regulator transmembran fibrosis kistik (cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator/CFTR).
Daftar
pustaka
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.
Jakarta : EGC
http://sehat-enak.blogspot.com/2010/03/fibrosis-kistik.html
diakses
tanggal 20 November 2012, Pukul 14.20 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar