Selasa, 02 April 2013

Askep Cytic fibrosis (CF) Stikes NHM

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1       LATAR BELAKANG
Dewasa ini ganguan pada sistem-sistem organ manusia semakin berkembang. Gangguan tersebut ada yang timbul karena factor gaya hidup yang kurang tepat dan ada juga yang timbul sejak bayi lahir (konginetal). Kelainan konginetal bisa disebabkan oleh kegagalan pada saat proses embriologi, tetapi ada juga yang disebabkan oleh kelainan genetik. Salah satu contoh kelainan genetik pada system pernapasan adalah cystic fibrosis.  Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Tanda dan gejala pertama biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun sekitar 5% pasien di Amerika Serikat didiagnosis pada waktu dewasa.
Prevalensi dari cystic fibrosis atau yang biasa disingkat dengan CF beragam, tergantung dari etnis suatu populasi. CF dideteksi pada sekitar 1 dari 3000 kelahiran hidup pada populasi Kaukasia di Amerika bagian Utara dan Eropa Utara, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada African Amerikan (Negro), dan 1 dari 90.000 kelahiran hidup pada populasi Asia di HawaiiKarena adanya perkembangan dalam terapi, >41% pasien yang sekarang dewasa (18 tahun) dan 13% melewati umur 30 tahun. Median harapan hidup untuk pasien CF adalah >41 tahun sehingga CF tidak lagi merupakan penyakit pediatrik, dan internis harus siap untuk menentukan diagnosis CF dan menangani banyak komplikasinya. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.
Cystic fibrosis bisa terjadi akibat adanya mutasi genetic yang membentuk protein CF transmembrane conductance regulator (CFTR) yang terletak pada kromosom 7. Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang terjadi pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system.imun Teori yang lain menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori tersebut mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di cystic fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang kental. Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan pada pancreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus halus oleh kerasnay feses dll.
Begitu besaranya resiko perkembangan penyakit cystic fibrosis, sebagai tenaga kesehatan diharapkan bias mengidentifikasi secara dini sebagai upaya pencegahn penyebaran penyakit ke berbagai organ lain.

1.2       RUMUSAN MASALAH
1.2.1        Apa anatomi fisiologi fibrosis kistik?
1.2.2        Apa devinisi fibrosis kistik?
1.2.3        Bagaimana etiologi fibrosis kistik?
1.2.4        Bagaimana patofisiologi fibrosis kistik?
1.2.5        Bagaimana manifestasi klinisfibrosis kistik?
1.2.6        Bagaimana pemeriksaan penunjang fibrosis kistik?
1.2.7        Bagaimana pencegahan fibrosis kistik?
1.2.8        Bagaimana Asuhan keperawatan fibrosis kistik?

1.3       TUJUAN
1.3.1        Tujuan umum
Makalah ini dibuat sebagai pedoman atau acuan kami untuk mengetahui, memahami, dan menggali ilmu tentang Sistem Respirasi, serta untuk mengetahui informasi-informasi mengenai Sistem Respirasi lebih dalam.
1.3.2        Tujuan khusus
a.       Mengetahui tentang anatomi fisiologi fibrosis kistik
b.      Mengetahui tentang definisi fibrosis kistik
c.       Mengetahui tentang etiologifibrosis kistik
d.      Mengetahui tentang patofisiologi fibrosis kistik
e.       Mengetahui tentang manifestasi klinis fibrosis kistik
f.       Mengetahui tentang pemeriksaan penunjang fibrosis kistik
g.      Mengetahui tentang pencegahan fibrosis kistik
h.      Mengetahui tentang Asuhan Keperawatan fibrosis kistik

1.4             MANFAAT
1.4.1         Bagi penulis setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang system respirasi.
1.4.2        Bagi pembaca diharapkan bagi pembaca dapat mengetahui tentang pola tidur yang normal lebih dalam sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


 



BAB II
PEMBAHASAN
2..1.          Anatomi & fisiologi paru-paru.
Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan, yang berfungsi menukar oksigen dari udara luar dengan karbon dioksida dari darah melalui proses respirasi. Respirasi merupakan proses pertukaran gas yang keluar masuk saluran pernafasan, melibatkan sistem kardiovaskuler, sistem pulmonary dan kondisi hematologis. Paru-paru terletak pada rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua, yaitu : pleura viseral dan parietal. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) merupakan selaput yang langsung membungkus paru-paru. Pleura parietal merupakan selaput paru-paru yang melapisi bagian dalam dinding dada. Antara kedua pleura, terdapat sebuah rongga yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura menjadi hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan yang berguna untuk melumasi permukaan pleura, untuk menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada.
Dilihat dari struktur anatominya, paru-paru dibagi menjadi dua lobus, yaitu :
1.      Lobus paru-paru kanan, terdiri dari tiga lobus, yaitu :
a.       Lobus pulmo dekstra superior
b.      Lobus medial
c.       Lobus pulmo dekstra inferior
2.      Lobus paru-paru kiri, terdiri dari dua lobus, yaitu :
a.       Lobus pulmo sinistra superior
b.      Lobus pulmo sinistra inferior

1.        Difusi dan perfusi
Difusi merupakan gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.Difusi gas pernapasan terjadi di membran kapiler alveolar dan kecepatan difusi dapat dipengaruhi oleh ketebalan membran. Peningkatan ketebalan membrane merintangi proses kecepatan difusi karena hal tersebut membuat gas memerlukan waktu lebih lama untuk melewati membrane tersebut. Klien yang mengalami edema pulmonar, atau efusi pulmonar Membrane memiliki ketebalan membrane alveolar kapiler yang meningkat akan mengakibatkan proses difusi yang lambat, pertukaran gas pernapasan yang lambat dan menganggu proses pengiriman oksigen ke jaringan.
Daerah permukaan membran dapat mengalami perubahan sebagai akibat suatu penyakit kronik, penyakit akut, atau proses pembedahan. Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit maka darah permukaan menjadi berkurang O2 alveoli berpindah ke kapiler paru, CO2 kapiler paru berpindah ke alveoli.
Faktor yang mempengaruhi difusi :
a)      Luas permukaan paru
b)      Tebal membrane respirasi
c)      Jumlah eryth/kadar Hb
d)     Perbedaan tekanan dan konsentrasi gas
e)      Waktu difusi
f)       Afinitas gas
Perfusi pulmonal adalah aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal O2 diangkut dlm darah;dalam eritrosit bergabung dgn Hbà(oksi Hb) /Oksihaemoglobin (98,5%) dalam plasma sebagai O2 yg larut dlm plasma (1,5%) CO2 dlm darah ditrasport sbg bikarbonat. Dalam eritosit sbg natrium bikarbonat. Dalam plasma sbg kalium bikarbonat  Dalam larutan bergabung dengan Hb dan protein plasma 5 – 7 %àC02 larut dalam plasma 15 – 20 %à Carbamoni Hb (carbamate) àHbNHCO3 Hb + CO2 HbC060 – 80%àbikarbonat àHCO3 CO2 + H2O H2CO3 - H+ + CO3-
2.        Pertukaran gas
Pertukaran gas antara O2 dengan CO2 terjadi di dalam alveolus dan jaringan tubuh, melalui proses difusi. Oksigen yang sampai di alveolus akan berdifusi menembus selaput alveolus dan berikatan dengan haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebut deoksigenasi dan menghasilkan senyawa oksihemoglobin (HbO) seperti reaksi berikut :
Sekitar 97% oksigen dalam bentuk senyawa oksihemoglobin, hanya 2 – 3% yang larut dalam plasma darah akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh, dan selanjutnya akan terjadi pelepasan oksigen secara difusi dari darah ke jaringan tubuh, seperti reaksi berikut : Karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari proses respirasi sel akan berdifusi ke dalam darah yang selanjutnya akan diangkut ke paru-paru untuk dikeluarkan sebagai udara pernapasan.
Ada 3 (tiga) cara pengangkutan CO2 : Sebagai ion karbonat (HCO3), sekitar 60 – 70%. Sebagai karbominohemoglobin (HbCO2), sekitar 25%. Sebagai asam karbonat (H2CO3) sekitar 6 – 10%.

3.    Transpor oksigen
Sistem transportasi oksigen terdiri dari system paru dan sitem kardiovaskular. Proses pengantaran ini tergantung pada jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi),aliran darah ke paru-paru dan jaringan (perfusi), kecepatan divusi dan kapasitas membawa oksigen. Kapasitas darah untuk membawa oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut dalam plasma, jumlah hemoglobin dan kecenderungan hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen (Ahrens, 1990).Jumlah oksigen yang larut dalam plasma relatif kecil, yakni hanya sekitar 3%.Sebagian besar oksigen ditransportasi oleh hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen dan karbon dioksida. Molekul hemoglobin dicampur dengan oksigen untuk membentuk oksi hemoglobin. Pembentukan oksi hemoglobin dengan mudah berbalik (revesibel), sehingga memungkinkan hemoglobin dan oksigen berpisah, membuat oksigen menjadi bebas.Sehingga oksigen ini bias masuk ke dalam jaringan.

2..2.          DEFINISI

Cytic fibrosis (CF) adalah kelainan genetic yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran. Merupakan kelainan monogenetic yang ditemukan sebagai penyakit multisystem.( Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system pernapasan, Irman somantri).
Fibrosis kistik adalah kelainan genetik yg bersifat resesis heterogen(dari ayah dan ibu keduanya harus punya) dengan gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran fibrosis kistik.
Fibrosis Kistik adalah suatu penyakit keturunan yang menyebabkan kelenjar tertentu menghasilkan sekret abnormal, abnormal dan akhirnya yang mempengaruhi saluran pencernaan dan paru-paru.
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik multisistem yang ditandai dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru obstruktif progresif dan insufisiensi pankreas dengan gangguan absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologis yang mencerminkan mutasi pada gen-gen regulator transmembran fibrosis kistik (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator/CFTR).
Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.
Umumnya pasien-pasien dengan fibrosis kistik datang pada ahli THT karena penyakit sinonasal yang dikeluhkannya. Kemajuan perkembangan bidang THT saat ini juga menduga bahwa penyakit otitis media dan adenotonsiler dapat muncul atau merupakan komplikasi fibrosis kistik, dimana secara prevalensi dan patofisiologis sama dengan  pasien-pasien yang tanpa fibrosis kistik. Otitis media sebenarnya prevalensinya  lebih jarang terjadi pada pasien dengan fibrosis kistik dibanding pasien tanpa fibrosis kistik sehingga masih terdapat kontoversial. 

2..3.          Etiologi
Fibrosis kistik merupakan penyakit yang diwariskan secara resesive autosomal. Gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya fibrosis kistik telah diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai cystic fibrosis transmembrane-conductance regulator glycoprotein (CFTR gene) yang terletak pada lengan panjang kromosom no 7 (Irman, 2009).
Protein CFTR merupakan rantai polipeptida tunggal, mengandung 1480 asam amino, yang sepertinya berfungsi untuk cyclic AMP–regulated Cl– channel dan dari namanya, mengatur channel ion lainnya. Bentuk CFTR yang terproses lengkap ditemukan pada membran plasma di epithelial normal. Penelitian biokimia mengindikasikan bahwa mutasi F508 menyebabkan kerusakan proses dan degradasi intraseluler pada protein CFTR. Sehingga alpanya CFTR pada membrane plasma merupakan pusat dari patofisiologi molecular akibat mutasi F508 dan mutasi kelompok I-II lainnya. Namun, mutasi kelompok III-IV menghasilkan protein CFTR yang telah diproses lengkap namun tidak berfungsi atau hanya sedikit berfungsi pada membrane plasma.
Gen CFTR ini membuat protein yang mengontrol perpindahan garam dan air di dalam dan di luar sel di dalam tubuh. Orang dengan cystic fibrosis, gen tersebut tidak bekerja dengan efektif. Hal ini menyebabkan kental dan lengketnya mucus serta sangat asinya keringat yang dapat menjadi cirri utama dari cystic fibrosis. 
            Mekanisme terjadinya malfungsi sel pada cystic fibrosis tidak diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa kekurangan klorida yang terjadi pada protein CFTR menyebabkan akumulasi secret di paru-paru yang mengandung bakteri yang tidak terdeteksi oleh system imun. Teori yang lain menyebutkan bahwa kegagalan protein CFTR menyebabkan peningkatan perlawanan produksi sodium dan klorida yang menyebabkan pertambahan reabsorbsi air, menyebabkan dehidrasi dan kekentalan mucus. Teori-teori tersebut mendukung sebagian besar observasi tentang terjadinya kerusakan di cystic fibrosis yang menghambat jalanya organ yang dibuat dengan secret yang kental. Hambatan ini menyebabkan perubahan bentuk dan infeksi di paru-paru, kerusakan pada pancreas karena akumulasi enzim digestive, hambatan di usus halus oleh kerasnay feses dll.

2..4.          Pathofisiologi dan WOC
Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi geb ini menyebabkan hilangnya fenilalanin pada rantai asam ammino 508 yang dikenal sebagai regulator transmembran fibrosis kistik (CF T R).
Protein CF T R merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran Cl- diatur AMP siklik. Proses pembentukan CF T R seluruhnya ditemukan pada membran plasma epitel normal. Mutasi DF 508 menyebabkan proses yang tidak benar dan pemecahan protein CF T R intraseluler sehingga tidak ditemukannya protein CF T R pada lokasi selluler.
Disfungsi epitel adalah epitel yang dirusak oleh fibrosis kistik memperlihatkan fungsi yang berbeda, misalnya bersifat volume sekretoris atau pankreas dan bersifat garam absorbsi tetapi tidak volime absorbsi atau saluran keringat dmana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan Cl- yang disekresikan tinggi.
Pada paru manusia, sekret yang tebal dan lengket menyumbat saluran nafas distal dan kelenjar submukosa sehingga menutupi permukaan saluran nafas dan sekret yang tebal dan kental ini adalah media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen yang tidak mudah untuk dieradikasi seprtipseudomonas aureginosa, staphy lococcus aureus dan lain-lain, sehingga terjadi infiltrasi banyak neutrofil. 

2..5.          Manifestasi klinis
a.       Pada saat lahir, fungsi paru-paru penderita masih normal, gangguan pernafasan baru terjadi beberapa waktu kemudian.  Lendir yang kental pada akhirnya menyumbat saluran udara kecil, yang kemudian mengalami peradangan.
b.      Hampir sekitar 90-100% pasien menunjukan penyakit sinus secara radiologis. Frekwensi polip nasi pada pasien-pasien F fibrosis kistik bervariasi antara 6-67%. Gejala klinis sinusitis yang ditandai dengan nyeri, discharge, demam atau postnasal drip, hanya ditemukan sekitar 10% pada pasien-pasien dengan fibrosis kistik. Hampir semua pasien-pasien fibrosis kistik yang menunjukkan bukti kelainan secara radiologis malahan tidak menunjukan gejala klinis. Fenomena ini mungkin mewakili kondisi sesungguhnya dari stadium asimtomatis, atau ini diduga merupakan kondisi kronik perjalanan penyakitnya dimana pasien telah beradaptasi dengan gejala sinusitisnya.
Gejala klinis pasien yang dicurigai fibrosis kistik menurut Brihaye:
a.       Obstruksi hidung.
b.      Nasal discharge yang makin memburuk.
c.       Nyeri wajah.
d.      Batuk yang makin memburuk.
e.       Demam
Selain gejala klinis diatas, juga perlu ditelusuri status kesehatan parunya mengingat:
a.         Sinusitis kronik sering dikaitkan dengan infeksi bakteri endobronkia dan juga menimbulkan dampak penyakit pulmo berulang (reactivity) dan kekronisan dari penyakit saluran sinobronkial.
b.         Penurunan kemampuan fisik juga berkorelasi dengan eksaserbasi akut sinusitis atau memburuknya kondisi kronik penyakit paru.

2..6.          Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis FK antara lain:
2.6.1.      Pemeriksaan laboratorium
a.         Test kandungan chlorida keringat (sweat chloride test) :
1.   Dilakukan pengumpulan dan analisis komposisi keringkat dengan metoda iontophoresis pilocarpine.
2.   Konsentrasi ion klorida sekitar 60 mEq/L keatas merupakan khas diagnostik. Nilai normal rata-rata konsentrasi klorida dibawah 30 mEq/L.
3.   Nilai antara 30 – 60 mEq/L mungkin kondisis heterozygous carriers, dan tidak dapat diidentifikasi secara akurat menggunakan test ini (SCT).
b.         Test Prenatal :
1.      Pada masa kehamilan dapat dilakukan pemeriksaan melalui test villi korionik (chronic villous testing) pada usia kehamilan sekitar 10-12 minggu.
2.      Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk mendiagnosis KF yang akan diterminasi kehamilannya. Pemeriksaan prenatal ini sudah jarang dilakukan karena harapan hidup pasien-pasien dengan KF sekarang telah meningkat.
c.          Test genetika.
1.      Test genetik melalui test darah dapat mendeteksi kondisi karier dengan keakuratan sampai 95%. Testing in direkomendasikan untuk individu-individu yang mempunyai riwaya keluarga dengan KF dan untuk pasangan-pasangan yang merencanakan kehamilan, namun tidak diindikasikan untuk keperluan skrining secara umum.
2.      Skrining bayi baru lahir dapat dilakukan melalui pengukuran kadar tripsin immunoreaktive pada blood spot test Guthrie.

2.6.2.           Pemeriksaan radiologis CT scan
Pemeriksaan CT scan paranasal dilakukan melalui potongan aksial dan koronal tanpa kontras. Umumnya pasien dengan KF memberiksan hasil :
a.       Lebih dari 90% menunjukkan bukti adanya sinusitis kronik yang ditandai dengan opaksifikasi, pergeseran ke medial dinding lateral kavum nasi pada daerah meatus media, serta demineralisasi prosesus unsinatus.
b.      Kelainan berupa buging ke arah medial dari kedua dinding lateral hidung disertai gambaran mukus viskus di sinus maksila terdapat hampir pada 12% pasien dan merupakan stadium mucucelelike yang harus segera ditangani dengan pembedahan.
c.       Sinusitis kronik sering menyebabkan gangguan peneumatisasi dan hipoplasia dari sinus maksila dan etmoid, juga menyebabkan terganggunya pembentukan sinus frontalis. Pasien-pasien adolesen dengan KF sering didapatkan tidak terbentuknya sinus frontalis pada gambaran CT scannya.

2.6.3.           Pemeriksaan Kultur
Aspirasi sinus penting dilakukan untuk pemeriksaan kultur pada pasien-pasien FK untuk mendeteksi adanya keterlibatan infeksi kuman pseudomonas.
a.       Pengambilan kultur sebaiknya dilakukan aspirasi transantral sinus maksila dan tak ada gunanya mengambil di daerah nasofaring, tenggorok atau septum. Dari penelitian organisme yang sering ditemukan dari hasil kultur pasien-pasien dengan FK adalah pseudomonas (65%), haemophilus influenzae (50%), Alpha-haemolticstreptococci (25%) dan kuman-kuman anaerob seperti peptostreptococcus serta Bactroides (25%). Sensitivitas terapi organisme-organisme dengan antibiotika sama sensitivnya pada pasien-pasien FK dibanding dengan yang nonFK, kecuali pada kuman pseudomonas.
b.      Pasien-pasien dengan sinusitis akut tanpa FK kuman penyebabnya umumnya terdiri dari Pneumococcus, H Influenza dan Moraxella catarrhalis, sedang jika sinusitis kronik selain kuman diatas ditambah dengan organisme Staphylococcus aureus dan kuman anaerob seperti Bacteroides, Veillonella dan Fusobacterium.
2.7.       Pencegahan primer, sekunder.
2.7.1.  Pencegahan primer.
Konsumsi makanan yang baik, aktivitas fisik, serta dukungan psikis dan sosial. Makanan sebaiknya mengandung kalori dan protein yang cukup agar pertumbuhan penderita tetap berlangsung normal. Penderita harus mengonsumsi lemak dalam jumlah yang lebih banyak karena mereka umumnya tidak dapat menyerap lemak dengan baik. Mencegah perkawinan dengan penderita fibrosiskistik.
2.7.2. Pencegahan sekunder
Penatalaksaan fibrosis kistik meliputi dua hal yaitu medikamentosa dan pembedahan.
a.       Medikamentosa.
Pasien fibrosis kistik mungkin mengeluhkan gejala kronik dari obstruksi hidungnya berupa discharge purulen atau batuknya sehingga dibutuhkan terapi antibiotik efektif terhadap kuman pseudomonas dan staphylococci serta digabung dengan irigasi rongga hidung rutin (aggresive nasal toilet) mungkin dapat meredakan gejala klinis yang ada.
Irigasi rongga hidung memegang peranan penting yang  sebaiknya dilakukan rutin pada pasien yang mulai timbul keluhan. Keluhan ini terjadi karena gangguan mucociliary clearance secara kronik. Irigasi menggunakan saline bertujuan menurunkan kolonisasi bakteri, mencuci keluar sekresi lendir yang menyebabkan obstruksi, dan secara berkala membantu vaskonstriksi pembuluh darah konka. Irigasi juga diperlukan terhadap semua intervensi pembedahan karena walau tujuan pembedahan membesarkan ostium sinus namun tidak dituukan terhadap kerusakan mucociliary clearance yang ditimbulkan akibat pembedahan.
Beberapa ahli menggunakan antibiotik antipseudomonal seperti tobramycin sebagai tambahan dalam irigasi rongga hidung dan dilaporkan berhasil menurunkan kolonisasi bakteri pseudomonas.
b.    Pembedahan.
Terapi pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa tidak efektif, bagaimanapun juga pertimbangan pembedahan harus benar-benar matang pada pasien FK karena bahaya-bahaya kemungkinan terbentuknya mucus kental yang banyak selama operasi dengan anastesi umum yang resikonya semakin meningkat sejalan dengan lamanya intubasi.
a)      Indikasi pembedahan pada pasien FK menurut Nishioka (Kris, 2008) :
1.                 Obstruksi nasi persistent yang disebabkan polip nasi dengan atau tanpa penonjolan ke medial dinding lateral hidung.
2.                 Medialisasi dinding lateal hidung yang dibuktikan melalui CT scan walau tanpa disertai gejala subjektif obstruksi nasi, pembedahan perlu dilakukan karena tingginya prevalensi mucocelelike formations.
3.                 Timbulnya eksaserbasi penyakit paru yang berkorelasi dengan eksaserbasi penyakit sinonasalnya, memburuknya status penyakit parunya atau penurunan aktifitas fisik serta kegagalan terapi medikamentosa.
4.                 Nyeri wajah atau nyeri kepala yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya selain adanya FK yang dapat menggangu kualitas hidup penderita.
5.                  Tak ada perbaikan dari gejala klinis sinonasal setelah terapi medikamentosa adekuat.
b)       Kontraindikasi dilakukan pembedahan (Kris, 2008) :
1.                  Penyakit paru obstruktif kronik berat yang beresiko saat dilakukan anastesi.
2.                  Pasien dengan FK sangat beresiko terhadap defisiensi vitamin K akibat insufisiensi pankreas, penyakit hepatobilier atau keduanya dan jika tidak disuplement akan beresiko perdarahan18, yang ditandai dengan pemanjangan masa prothrombin time(PT) dan harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum dilakukan pembedahan.
3.                  Sinusitis kronik dapat menyebabkan terganggunya/terlambatnya pneumatisasi dan perkembangan dari sinus maksila, etmoid dan frontal pada pasien FK khususnya anak-anak sehingga ini terkadang kurang diperhitungkan. Dalam hal diatas perlu dilakukan CT scan coronal dan axial preoperatif untuk kenfirmasi sebelumnya. Abnormalitas anatomis ini menjadikan pembedahan harus lebih berhati-hati.
c)      Pertimbangan-pertimbangan penting lainnya dalam prosedur pembedahah (Kris, 2008) :
1.                  Jika mungkin pembedahan dilakukan dalam waktu kurang dari 1 jam untuk menghindari masalah respirasi (respiratory compromise) yang tentu saja durasi operasi ini bergantung dari luasnya penyakit, banyaknya kehilangan darah, metoda/prosedur pembedahan dan pengalaman ahli bedahnya. Prinsip utama yang tetap harus dipegang adalah seaman dan semaksimal mungkin menghindari komplikasi.
2.                  Angkat polip sebersih dan seaman mungkin sambil mengingat kemungkinan terjadi kekambuhan. Prosedur ini secara umum ditujukan untuk perbaikan (improvement) tidak untuk penyembuhan (cure). Tinggalkan residual polips jika landmarks adekuat tidak memungkinkan.
3.                  Penggunaan pembedahan sinus endoskopik canggih menggunakan microdebrider sangat memudahkan dalam pengangkatan jaringan patologis (polips) lebih bersih dan akurat karna visualisasi lebih baik. Teknik ini telah mulai banyak dilakukan oleh para ahli bedah.
4.                  Dari beberapa penelitian polipektomi dikombinasi dengan prosedur drainase sinus angka kekambuhan dan periode bebas gejala menjadi lebih lama.
d)     Perawatan pasca operasi juga sangat memegang peranan penting dalam keberhasilan penatalaksanaan (Kris, 2008) :
1.             Pasien dirawat dirumah sakit sampai fungsi parunya benar-benar adekuat (dievaluasi minimal 1 malam)
2.             Lakukan irigasi rutin (aggresively) menggunakan normal saline atau hypertonic sodium chloride solution.
3.             Pencucian/irigasi pasca operasi mencegah terbentuknya sinekia. Khusus pasien-pasien anak yang tidak dapat dilakukan irigasi dapat dilakukan 2-3 minggu kemudian di ruang operasi.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1.            Pengkajian.
3.1.1.           Anamnesa.
Data yang dikumpulkan selama pengkajian digunakan sebagai dasar untutk membuat rencana asuahan keperawatan klien. Proses pengkajian keperawatan harus dilakukan dengan sangat individual (sesuai masalah dan kebutuhan klien saat ini). Dalam menelaah status pernapasan klien, perawat melakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memaksimalkan data yang dikumpulkan tanpa harus menambah distres pernapasan klien. Setelah pengkajian awal perawat memilih komponen pemeriksaan yang sesuai dengan tingkat distres pernapasan yang dialami klien.
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1.    Identitas Pasien.
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang: nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
2.    Keluhan Utama.
Pasien dengan cystic fibrosis didapatkan keluhan berupa infeksi saluran napas kronis berupa batuk kronis berdahak sering berulang, batuk dapat disertai darah (hemoptysis), sesak napas, selera makan menurun, demam, insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas dan abnomalitas kelenjar keringat.
3.    Riwayat Penyakit Sekarang.
Riwayat penyakit sekarang pada pasien cystic fibrosis menunjukkan adanya mutasi genetic yang membentuk protein CF transmembrane conductance regulator (CFTR) yang terletak pada kromosom 7.
4.      Riwayat penyakit dahulu.
Kedua orang tua merupakan carrier dari gen resesif CFTR atau salah satu dari orang tua ada yang menderita cystic fibrosis. Selain itu perlu ditanyakan juga apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumonia, gagal jantung, tauma dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor preisposisi.
5.   Riwayat penyakit keluarga.
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab cystic fibfosis.
6.      Riwayat psikososial.
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
3.1.2.      PENGKAJIAN
B1 (Breath)
Meliputi sesak napas, paru kekurangan oksigen sehingga jaringan rusak dan kulit berwarna kebiruan (sianosis) dan batuk yang semakin hari semakin buruk
B2 (Blood)
Memungkinkan terjadinya hiperglikemi akibat pankreas tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik akibat mukus yang berlebihan hingga merusak pankreas.
B3 (Brain) : Normal.
B4 (Bladder) : Normal.
B5 (Bowel) :
Pada bowel kelainanya meliputi diare, dehidrasi, nyeri dan ketidaknyamanan pad perut karena terlalu banyak gas dalam usus sebgai akibat disfungsi enzim digestine. Selain itu, dapat ditemui kelainan berupa nafsu makan besr tetapi tidak menambah berat badan dan pertumbuhan (cenderung menurun).
B6 (Bone) : Normal.
3.1.3.      Diagnosa Keperawatan
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak.
2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
3.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, munta.
4.      Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna nutrien, kehilangan nafsu makan (penyakit tahap lanjut).
5.      Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya mukus sebagai media pertumbuhan organism,
3.1.4.      Rencana Intervensi.
A.    Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret mukus yang kental dan banyak.
a)      Tujuan : bersihan jalan nafas efektif, tidak ada sekret/mucus.
b)      Kriteria Hasil   : Menunjukan batuk yang efektif dan peningkatan pertukaran udara dalam paru-paru.
INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
1.Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis : Peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
2. Kaji kepatenan jalan nafas.
3.Evaluasi gerakan dada dan auskultasi untuk bunyi nafas bilateral









KOLABORASI
1.            Berikan fisioterapi dada sesuai indikasi, contoh drainase postural, perkusi.
2.            Berikan bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi, contoh aminophilin, metaproterenol sulfat (Alupent)
3.            Bantu bronkoskopi serat optic, bila diindikasikan

1.      Peninggia kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernafas.
2.      Obstruksi dapat disebabkan oleh akumulasi secret, perlengketan mukosa, perdarahan, spasme bronkus, dan/atau masalah dengan posisi trakeotomi/selang endotrakeal.
3.      Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas melalui area paru menunjukkan letak selang tepat/tidak menutupi jalan nafas.
4.      Meningkatkan ventilasi pada semua segmen paru dan alat drainase secret.
5.      Meningkatkan ventilasi dan membuang secret dengan relaksasi otot halus/spasme bronkus.
6.      Dapat dilakukan untuk membuang secret/perlengketan mukosa

B.     Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
a)      Tujuan : Mempertahankan oksigenasi atau ventilasi adekuat.
b)      Kriteria hasil :
1.    Pasien memperlihatkan frekuensi napas efektif.
2.    Bebas dari distress pernapasan.
3.    GDA dalam rentang normal. (PH [,35-,45], PaCO2 [35-45 mmHG], PaO2 [80-95 mmHg], Saturasi O2 [95-99%], HCO3- [22-26 mEq/L])

INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
a.    Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
b.   Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nfas bibir sesuai kebutuhan/ toleransi individu.
c.    Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara/atau bunyi tambahan.



d.   Palpasi fremitus

KOLABORASI
a.    Berikan oksigen dengan metode tepat

a.    Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
b.   Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.
c.    Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udar atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ bertahannya secret.
d.   Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairn atau udaraa terjebak.
e.    Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas. Oksigen biasanya diberikan dengan kanula nasal pada obstrksi paru sebagian

C.     Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah.
a)         Tujuan : Menormalkan volume cairan dalam tubuh kembali normal.
b)        Kriteria hasil :
1.      Tekanan darah 120/80 mmHg.
2.      Kecepatan nadi normal (60/100 x menit)

INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
a.       Awasi tanda vital, mis : TD frkuensi jantung, nadi.
b.      Ukur/hitung masukan,  pengeluaran dan keseimbangan cairan. Catat pengeluaran yang tidak tampak.
c.       Timbang berat badan tiap hari



KOLABORASI
a.       Berikan cairan IV dalam observasi ketat/dengan alat control sesuai indikasi

a.    Kekurangan/perpindahan cairan meningkatkan frekuensi jantung, menurunkan TD, dan mengurangi volume nadi.
b.   Memberikan informasi tentang status cairan umum. Kecenderungan cairan negative dapat menurunkan terjadinya efisit.
c.    Perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh otal.
d.   Memperbaiki/mempertahankan volume sirkulasi dan tekanan osmotic

D.    Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna nutrien, kehilangan nafsu makan (penyakit tahap lanjut).
a)      Tujuan : Meningkatkan nafsu makan pasien.
b)      Kriteria hasil    : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
INTERVENSI
RASIONAL
a.    Identifikasi factor yang menimbulkan mual dan muntah, misal : sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnea berat, nyeri.
b.   Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.
c.    Jadwalkan pengobatan prnafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
d.   Auskultasi bunyi usus.
e.    Beri makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering dan/atau makanan yang menarik untk pasien
a. Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah.
b.Menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari linkungan pasien dan dapat menurunkan mual.
c. Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini.
d.       Bunyi usus mungkin menurun/tidak ada bila proses infeksi berat/memanjang.
e. Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafu makan mungkin lambat untuk kembali



E.     Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya mukus sebagai media pertumbuhan organism.
a)      Tujuan : Mencegah terjadinya komplikasi yang disebabkan karena infeksi.
b)      Kriteria Hasil :
1.      Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
2.      Menurunnya risiko infeksi

INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
a.       Tunjukkan/dorong teknik mencuci tangan yang baik.
b.       Awasi suhu.
c.       Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukkan cairan adekuat.
d.      Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tiu dan sputum.
e.       Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat


KOLABORASI
a.    Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman Gram, kultur/sensitivitas.
b.   Berikan antibiotik sesuai indikasi

a.     Efektif berarti menurunkan penyebaran/tambahan infeksi.
b.    Demam dapat terjadi karena infeks dan/atau dehidrasi.
c.     Aktivitas ini menunjukkan mobilisasi dan pengeluaran secret untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi paru.
d.    Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan.
e.     Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
f.     Dilakukan untuk mengidentifikasi organism penyebab dari kerentanan terhadap berbagai antimicrobial
g.    Dapat diberikan untuk organism khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitivitas, atau berikan secara profilaktik karena risiko tinggi

3.1.5.       IMPLEMENTASI.
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan jalan nafas, mempermudah pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses penyakit (Doenges Marilynn E, 2000, Remcana Asuhan Keperawatan.
3.1.6.      Evaluasi Keperawatan.
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai, Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : jalan nafas efektif, pola nafas efektif, pertukaran gas adekuat, masukan nutrisi adekuat, infeksi tidak terjadi, intolerans aktivitas meningkat, kecemasan berkurang/hilang, klien memahami kondisi penyakitnya. (Keliat Budi Anna, 1994, Proses Keperawatan)
3.2.       Legal dan etis.
Etika berkenaan dengan pengkajian kehidupan moral secara sistematis dan dirancang untuk melihat apa yang harus dikerjakan, apa yang harus dipertimbangkan sebelum tindakan tersebut dilakukan, dan ini menjadi acuan untuk melihat suatu tindakan benar atau salah secara moral. Terdapat beberapa prinsip etik dalam pelayanan kesehatan dan keperawatan yaitu :
a.      Otonomi (penentu pilihan).
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari keunikan induvidu secara holistik.
b.      Beneficience (do good).
Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan dengan baik, yaitu mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.
c.       Justice (perlakuan adil)
Perawat hendaknya mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.
d.      Non maleficience (do no harm).
Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi kliennya. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik keperawatan. Bahaya dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.
e.       Fidelity (setia).
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.
f.       Veracity (kebenaran).
Veracity mengacu pada mengatakan kebenaran. Sebagian besar anak-anak diajarkan untuk selalu berkata jujur, tetapi bagi orang dewasa, pilihannya sering kali kurang jelas.
g.      Moral right.
Hak-hak klien harus dihargai dan dilindungi. Hak-hak tersebut menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self-determination, perlakuan adil dan integritas diri.



Kesimpulan

Cytic fibrosis (CF) adalah kelainan genetic yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator transmembran. Merupakan kelainan monogenetic yang ditemukan sebagai penyakit multisystem.( Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system pernapasan, Irman somantri).
Cystic fibrosis adalah suatu gangguan kronik multisistem yang ditandai dengan infeksi endobronkial berulang, penyakit paru obstruktif progresif dan insufisiensi pankreas dengan gangguan absorbsi/malabsorbsi intestinal. Kelainan ini merupakan kelainan genetik yang bersifat resesif heterogen dengan gambaran patobiologis yang mencerminkan mutasi pada gen-gen regulator transmembran fibrosis kistik (cystic fibrosis transmembrane conductance regulator/CFTR).











Daftar pustaka

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika


Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC


http://sehat-enak.blogspot.com/2010/03/fibrosis-kistik.html diakses tanggal 20 November 2012, Pukul 14.20 Wib.

http://www.emedicine.com/ent/topic515.htm diakses tanggal 20 November 2012, Pukul 14.20 Wib.
http://medicastore.com/penyakit/146/Fibrosis_Kistik.html diakses tanggal 20 November 2012, Pukul 14.20 Wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar