Rabu, 10 April 2013

Askep Demam Tifoid



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Insidens rate demam tifoid di Asia Selatan dan Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10% (Nainggolan, R, 2011).
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan penelitian Cyrus H. Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun 2009, insidens rate demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah 357,6 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Apabila demam tifoid tersebut tidak dideteksi dan diobati secara cepat dan tepat dapat menyebabkan komplikasi yang berujuang pada kematian, seperti perdarahan usus, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan bronkopnemonia (peradangan paru), dan kelainan pada otak. Maka dari itu untuk mencegah terjadinya demam tifoid dan menurunkan angka kejadian, harus memperhatikan sanitasi lingkungan, pola makan yanjg sehat dan rajin mencuci tangan terutama sebelum dan setelah makan.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana anatomi dan fisiologi usus halus?
1.2.2        Apa definisi dari demam tifoid ?
1.2.3        Apa etiologi dari demam tifoid ?
1.2.4        Apa patofisiologi dari demam tifoid ?
1.2.5        Apa manifestasi klinis dari demam tifoid ?
1.2.6        Bagaimana pemeriksaan penunjang dari demam tifoid ?
1.2.7        Bagaimana penetalaksanaan medis dari demam tifoid ?
1.2.8        Apa komplikasi dari demam tifoid ?
1.2.9        Bagaimana cara mencegah demam tifoid ?
1.2.10    Bagaimana hasil penelitian kasus demam tifoid ?
1.2.11    Bagaimana legal etisnya ?
1.2.12    Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan demam tifoid ?

1.3  Tujuan
1.3.1   Umum
1.3.1.1   Untuk mengetahui Demam Tifoid dan asuhan keperawatan pada pasien Demam Tifoid
1.3.2   Khusus
1.3.2.1        Mengetahui anatomi dan fisiologi usus halus.
1.3.2.2        Mengetahui definisi dari demam tifoid.
1.3.2.3        Mengetahui etiologi dari demam tifoid.
1.3.2.4        Mengetahui patofisiologi dari demam tifoid.
1.3.2.5        Mengetahui manifestasi klinis dari demam tifoid.
1.3.2.6        Mengetahui pemeriksaan penunjang dari  demam tifoid.
1.3.2.7        Mengetahui penetalaksanaan medis dari demam tifoid.
1.3.2.8        Mengetahui komplikasi dari demam tifoid.
1.3.2.9        Mengetahui cara mencegah demam tifoid.
1.3.2.10    Mengetahui hasil penelitian demam tifoid.
1.3.2.11    Mengetahui legal etis.
1.3.2.12    Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan demam tifoid.

1.4  Manfaat
Dari makalah ini diharapkan mahasiswa dan pembaca dapat memahami pengertian dan asuhan keperawatan dari Demam Tifoid. Dan dapat mencegah terjadinya penyakit tersebut. Mengetahui tanda dan gejala sehingga kita sebagai perawat mampu bertindak sesuai dengan suhan keperawatan.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Anatomi dan Fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari : lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).


 







a.      Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitidinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
1.      Duodenum (Usus dua belas jari)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

2.      Jejenum (Usus Kosong)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti "lapar" dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti "kosong".

3.      Ileum (Usus Penyerapan)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
Absorbsi
Absorbsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung didalam usus halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh darah kapiler dalam darah dan saluran limfe disebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisi laktat, pembuluh darah epithelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epithelium.
Fungsi usus halus
-          Menerima zat-zat makanan yang sudah di cernah untuk di serap melalui kapiler – kapiler darah dan saluran – saluran limfe.
-          Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
-          Karbohidrat dalam bentuk monosakarida.

Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yaitu :
-          Enterokinase , mengaktifkan enzim proteolitik.
-          Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
-          Laktase mengubah lactase manjadi monosakarida.
-          Maltose mengubah maltase menjadi monosakarida.
-          Sukrose mengubah sukrosa manjadi monosakarida.

b.      Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari :
a.      Kolon asendens (kanan)
b.      Kolon transversum
c.       Kolon desendens (kiri)
d.      Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
c.       Rektum dan Anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
Fungsi usus besar adalah:
a.      Menyerap air dan makanan
b.      Tempat tinggal bakteri koli
c.       Tempat feses



2.2         Definisi
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare, 2002). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (Mansjoer, A, 2009).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B, C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi, 2006). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman, 2007).
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara fecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansjoer, A, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2.3         Etiologi
Penyebab dari demam thypoid yaitu :
1.      96 % disebabkan oleh Salmonella Typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu :
a.       Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b.      Antigen (flagella)
c.       Antigen VI dan protein membran hialin
2.      Salmonella paratyphi A
3.      Salmonella paratyphi B
4.      Salmonella paratyphi C
5.      Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus (Wong ,2003).
Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 370C dan mati pada suhu 54,40C (Simanjuntak, C. H, 2009).

2.4         Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh asam HCL lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka basil Salmonella akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar getah bening mesenterika.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari usus.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di organ ini, kuman S. Thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan gangguan mental koagulasi).
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat berlangsung hinga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit, terjadi jyperplasia (pembesaran sel-sel) plak peyeri. Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak peyeri pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).

2.5         Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium. Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.
Berikut gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1.      Demam
Pada kasus–kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
a.       Minggu I
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
b.      Minggu II
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
c.       Minggu  III
Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2.      Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

3.      Gangguan keasadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah.
Disamping gejala–gejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama demam kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi. 2006). Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis (soegijanto,S, 2002).

2.6         Pemeriksaan penunjang
1.      Uji Widal : untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella Thypi.
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a.         Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
b.        Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c.         Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif
. Namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1.    Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2.    Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3.    Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007).
4.      Pemeriksaan darah tepi : untuk melihat tingkat leukosit dalam darah, adanya leucopenia.
5.      Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya bakteri Salmonella Thypi dan leukosit.
6.      Pemeriksaan feses : untuk melihat adanya lendir dan darah yang dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
7.      Pemeriksaan sumsum tulang : untuk mendeteksi adanya makrofag.
8.      Serologis : untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
9.      Radiologi : untuk mengetahui adanya komplikasi dari Demam Thypoid.
10.  Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya thypoid.
2.7         Penatalaksanaan Medis
a.     Obat-obatan antibiotika yang biasa digunakan ialah kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksisilin.
b.     Antipiretik.
c.     Bila perlu diberiikan laksansia.
d.    Tirah baring selama demam, untuk mencegah komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
e.     Mobilisasi terhadap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
f.      Diet: pada permulaan, diet makan yang tidak merangsang saluran cerna, dalam bentuk saring atau  lunak.
g.     Makanan dapat ditingkatkan sesuai perkembangan keluhan gastrointestinal, sampai makanan biasa.
h.     Tindakan operasi bila ada komplikasi perforasi.
i.       Transfusi bila diperlukan pada komplikasi perdarahan.

2.8         Komplikasi
-  Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus dan ileus paralitik.
-  Komplikasi ekstra intestinal :
·         Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis ), miokarditis, thrombosis dan thromboplebitis.
·         Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopeni dan atau “adisseminated intravascular coagulation” ( DIC) dan sindromuremia hemolitik.
·         Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
·         Hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis.
·         Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pieloneftritis.
·         Komplikasi Neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polyneuritis perifer, psikosis.

2.9         Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
a.        Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
1.      Vaksin oral Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindiksi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.
2.      Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3.      Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

b.       Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
-           Diagnosis klinik.
-          Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman.
-          Diagnosis serologik.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
-           Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
-          Perawatan umum dan nutrisi yang cukup
-          Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.

c.       Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

2.10     Hasil Penelitian Berhubungan dengan Kasus
Penelitian 1
Demam typhoid merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pencernaan. Dari laporan Rumah Sakit Umum Tanjungpandan Belitung tahun 2008, demam typhoid menempati urutan ke empat, sebanyak 53 kasus. Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum Tanjungpandan Belitung, pada bulan Januari-Mei 2009 terdapat 88 kasus demam typhoid. Penderita demam typhoid selalu ada setiap bulannya, dengan kasus terbanyak pada usia antara 14-50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara beberapa faktor kondisi sanitasi lingkungan rumah dan perilaku kesehatan dengan kejadian demam typhoid di Tanjungpandan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan metode survey dan pendekatan kasus-kontrol. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tibgkat kemaknaan 95%. responden yang didapatkan sejumlah 53 orang kelompok kasus dan 53 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko kondisi sanitasi lingkungan rumah dan perilaku kesehatan yang berhubungan dengan terjadinya demam typhoid adalah penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat dengan nilai p = 0,016, OR = 2,96, 95% CI = 1,20 - 7,38;pengelolaan tinja yang tidak baik dengan nilai p = 0,033, OR = 2,82, 95% CI = 1,08 - 7,50;kebiasaan pengelolaan makanan dan minuman yang tidak baik dengan nilai p = 0,046, OR = 2,44, 95% CI = 1,01 - 5,92. Disimpulkan bahwa faktor kondisi sanitasi lingkungan berhubungan dengan penyakit demam typhoid di Tanjungpandan. Kata Kunci: Sanitasi lingkungan, perilaku kesehatan, penyakit demam typhoid

Penelitian 2
Latarbelakang: Di Indonesia demam tifoid bersifat endemik dan dari telaah kasus di beberapa rumah sakit, menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ketahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian 0,6% - 5,0 %. Penelitian mengenai demam tifoid pada kelompokusia <5 tahun belum banyak dilaporkan.
Tujuan: mengetahui gambaran klinis dan laboratories demam tifoid pada anak usia kurangdari 5 tahun dan membandingkan dengan anak usia di atas 5 tahun (5-14 tahun).
Metoda: penelitian non-eksperimental bersifat retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien demam tifoid anak dengan konfirmasi biakan Salmonella. Data diambil dari catatan rekam medic pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSHS Bandung dari bulan Januari 1996 sampai dengan Desember 2003.
Hasil: Selama kurun waktu 1996 - 2003 didapatkan kasus demam tifoid berusia <5 tahun 108/256 (42,2%). Dengan rasio laki-laki dan perempuan 1:1,20. Selain keluhan demam, obstipasi dan diare merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Bradikardi relatif, hepatomegali dan lidah tifoid merupakan pemeriksaan yang sering ditemukan selain demam. Lebih dari setengah pasien didapatkan anemia dan trombositopenia. Komplikasi terjadi pada 25% kasus, yaitu gangguan neuropsikiatrik, sepsis dan syok septik, miokarditis dan ileus. Satu pasien meninggal dengan penyebab kematian syok septik.
Kesimpulan: insidens demam tifoid pada anak usia <5 tahun cukup tinggi, insidens semakin tinggi sesuai dengan bertambahnya usia. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam gambaran klinis, laboratories dan komplikasi pada demam tifoid kelompok anak berumur <5 tahun dibandingkan dengan anak  umur >5 tahun.

2.11     Legal Etis
a.    Nilai
Keyakinan (beliefs) mengenai arti dari suatu ide, sikap, objek, perilaku, dll yang menjadi standar dan mempengaruhi prilaku seseorang.
Nilai menggambarkan cita-cita dan harapan-harapan ideal dalam praktik keperawatan.
b.    Etik
Kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem nilai, standar perilaku individu dan atau kelompok tentang penilaian terhadap apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang merupakan kebajikan dan apa yang merupakan kejahatan, apa yang dikendaki dan apa yang ditolak.
c.       Etika Keperawatan
Kesepakatan/peraturan tentang penerapan nilai moral dan keputusan- keputusan yang ditetapkan untuk profesi keperawatan (Wikipedia, 2008).
d.      Prinsip Etik
1.    Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien
2.    Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya
3.    Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/ orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya
4.    Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain).
kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera
Prinsip :
Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain.
5.    Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dipercayakan pasien kepada perawat.
6.    Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.
7.    Fidelity (loyalty/ketaatan)
-          Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil
-          Era modern , pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan pt dipenuhi perawat
-          Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
-          Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati.
8.    Veracity (Truthfullness & honesty)
-       Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.
-       Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
-       Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan kebenaran.
















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.      Pengkajian
Pengkajian dengan pasien Demam Thypoid, meliputi :
1.    Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

2.    Keluhan utama
Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.

3.    Riwayat penyakit saat ini
Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi dengan minuman.

4.    Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.

5.    Riwayat Penyakit Keluarga
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan kepada  janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal.

6.    Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
A.       Keadaan Umum
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubahan. Pada fase lanjut, secara umum pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan penurunan tingkat kesadaran (apatis, delirium).

B.       Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik :
Kepala – kaki, nadi, respirasi, temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.
1.    Pernafasan B1 (breath)
-       Bentuk dada : simetris
-       Pola nafas : teratur
-       Suara nafas : tidak ada bunyi nafas tambahan
-       Sesak nafas : tidak ada sesak nafas
-       Retraksi otot bantu nafas: tidak ada
-       Alat bantu pernafasan : tidak ada alat bantu pernafasan.
2.    Kardiovaskuler B2 (blood)
-       Penurunan tekanan darah
-       Keringat dingin
-       Diaforesis sering didapatkan pada minggu pertama.
-       Kulit pucat
3.    Persyarafan B3 (brain):
-       Penglihatan (mata) : Gerakan bola mata dan kelopak mata simetris, konjungtiva tampak anemis, sklera putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, produksi air mata (+), tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
-       Pendengaran (telinga) : Bentuk D/S simetris, mukosa lubang hidung merah muda, tidak ada cairan dan serumen, tidak menggunakan alat bantu, dapat merespon setiap pertanyaan yang diajukan dengan tepat.
-       Penciuman (hidung) : Penciuman dapat membedakan bau-bauan, mukosa hidung merah muda, sekret tidak ada, tidak ada terlihat pembesaran mukosa atau polip.
-       Kesadaran : kompos mentis
4.    Perkemihan B4 (bladder)
-       Kebersiahan : bersih
-       Bentuk alat kelamin : normal
-       Uretra : normal
-       Produksi urin : normal, BAK tidak menentu, rata-rata4-6 X sehari, tidak pernah ada keluhan batu atau nyeri.
5.    Pencernaan B5 (bowel)
-       Nafsu makan : anoreksia
-       Porsi makan : ¼ porsi
-       Mulut : Bibir tampak kering, lidah tampak kotor (keputihan), gigi lengkap, tidak ada pembengkakan gusi, tidak teerlihat pembesaran tonsil.
-       Mukosa : pucat.
6.    Musculoskeletal/integument B6 (bone)
-       Kemampuan pergerakan sendi : normal
-       Kondisi tubuh : kelelahan, malaise.

B.  Diagnosa Keperawatan
1.        Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii.
2.         Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
3.        Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh.
4.        Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
5.        Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi.

C.      Intervensi  Keperawatan
1.       Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, proses peradangan
Tujuan                : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, suhu tubuh normal
Kriteria hasil       :
-          Tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh
-          TD     : 80-120/60-80 mmhg
-          N       : 60-100 x/menit
-          S        : 36,5-37 0C
-          RR     : 16-24 x/menit

Intervensi
Rasional
Mandiri :
1.    Beri kompres  pada daerah axila
2.    Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil.
HE :
3.    Anjurkan untuk banyak minum air putih
Kolaborasi :
4.    Kolaborasi pemberian antipiretik, antibiotik
Observasi :
5.    Observasi tanda-tanda vital
1.    Pemberian kompres dapat menyebabkan peralihan panas secara konduksi dan membantu tubuh untuk menyesuaikan terhadap panas
2.    Hipertermi menunjukan proses penyakit infeksius akut. Pola demam menunjukkan diagnosis.
3.    Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
4.    Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri.
5.    Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan  menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya.

2.      Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil     :
-          Tidak ada keluhan nyeri
-          Wajah tampak rileks
-          Skala nyeri 0-1
-          TD      : 80-120/60-80 mmhg
-          N        : 60-100 x/menit
-          S         : 36,5-37 0C     
-          RR      : 24-32 x/menit
Intervensi
Rasional
Mandiri :
1.    Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.
HE :
2.    Ajarkan   tehnik   nafas    dalam.
3.    Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas hiburan yang tepat.
Kolaborasi :
4.    Kolaborasi obat-obatan analgetik.
Observasi :
5.    Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri.
1.    Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot.
2.    Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri
3.    Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian
4.    Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri
5.    Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan.

3.      Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan hipertermi, intake inadekuat
Tujuan               : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak terjadi defisit volume cairan
Kriteria hasil        :
-          Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi
-          Keseimbangan intake dan output dengan urine normal dalam konsentrasi jumlah
  
Interevensi
Rasional
Mandiri :
1.    Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan
HE :
2.    Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
Kolaborasi :
3.    Kolaborasi pemberian cairan intravena
Observasi :
4.    Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit
5.    Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah
1.    Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan
2.    Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh
3.    Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang hilang
4.    Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari kehilangan cairan
5.    Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok

4.       Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, nausea, intake inadekuat
Tujuan                           : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria hasil                 :
-          Nafsu makan meningkat
-          Tidak ada keluhan anoreksia, nausea.
-          Porsi makan dihabiskan

Intervensi
Rasional
Mandiri :
1.    Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
2.    Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein
HE :
3.    Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai
4.    Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung gas/asam, pedas
Kolaborasi :
5.    Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi
Observasi :
6.    Kaji kemampuan makan klien
1.    Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah
2.    Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat
3.    Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien
4.    Dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan menurunkan asupan nutrisi
5.    Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah
6.    Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya


5.      Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi
Tujuan                   : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pola eliminasi kembali normal
Kriteria hasil         :
-          Klien melaporkan BAB lancer
-          Konsistensi lunak

Intervensi
Rasional
HE :
1.    Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang merangsang BAB
Kolaborasi :
2.    Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi
Observasi :
3.    Kaji pola eliminasi klien
4.    Auskultasi bising usus
5.    Selidiki keluhan nyeri abdomen
6.    Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses
1.    Mengatasi konstipasi yang terjadi
2.    Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan.
3.    Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya
4.    Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit
5.    Berhubungan dengan distensi gas
6.    Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi




















BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. Secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.

4.2  Saran
Agar kita tidak terkena atau tertular penyakit demam tifoid, sebaiknya kita harus membiasakan diri untuk hidup sehat, saat mengkonsumsi makanan maupun minuman dan biasakan pula untuk mencuci tangan sebelum makan. Agar kuman salmonella tidak ikut tertelan masuk ke dalam system pencernaan kita bersama makanan yang telah terkontaminasi.











DAFTAR PUSTAKA
Adriana. 2011. Asuhan Keperawatan Demam Thypoid. http://adriananers.blogspot.com/2011/12/asuhan-keperawatan-demam-thypoid.html . diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pada pukul 20.53 WIB
Carolus, P.K Sint. 1994. Demam Tifoid. Jakarta: Salemba.
Nn. 2011. Asuhan Keperawatann Klien dengan Demam Typoid. http://d3keperawatanperintis.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-klien-dengan-demam.html . Diakses tanggal 26 Februari 2013 pada pukul 09.54 WIB
Pasunda, Elvin. 2013. Askep Demam  Thypoid (Tipus). http://elvin-pasunda.blogspot.com/2013/02/askep-demam-thypoid-tipus.html . diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pada pukul 20.57 WIB
Ramdhani, Rizky. 2009. Hubungan Beberapa Faktor Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku Kesehatan dengan Kejadian Demam Typhoid di Tanjungpandan Bengkulu. http://eprints.undip.ac.id/31133/ . diakses pada tanggal 25 Februari 2013 pada pukul 06.32
Susanti, Ilma Karsi. 2012. Askep Demam Tifoid. http://achy27askepners.wordpress.com/2012/12/14/askep-demam-tifoid/ . Diakses tanggal 24 Februari 2013 Pukul 20.43 WIB
Tambayong, dr. Jan. 2000. Patofisologi Untik Keperawatan. Jakarta: EGC