BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid
merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi
yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi
yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah
(Simanjuntak, C.H, 2009).
Besarnya
angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan terdapat sekitar
17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Insidens rate demam tifoid di Asia Selatan dan Tenggara
termasuk China pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208 per
100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358
per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun
dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian
demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10% (Nainggolan, R,
2011).
Berdasarkan
laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid
menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah
sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan
pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%,
urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi
3,01% (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan
penelitian Cyrus H. Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun 2009, insidens
rate demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah 357,6 per 100.000
penduduk per tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan;
di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di
daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Apabila demam tifoid tersebut tidak dideteksi dan diobati secara cepat dan
tepat dapat menyebabkan komplikasi yang berujuang pada kematian, seperti
perdarahan usus, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan bronkopnemonia
(peradangan paru), dan kelainan pada otak. Maka dari itu untuk
mencegah terjadinya demam tifoid dan menurunkan angka kejadian, harus
memperhatikan sanitasi lingkungan, pola makan yanjg sehat dan rajin mencuci
tangan terutama sebelum dan setelah makan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana anatomi dan fisiologi usus halus?
1.2.2
Apa definisi dari demam tifoid ?
1.2.3
Apa etiologi dari demam tifoid ?
1.2.4
Apa patofisiologi dari demam tifoid ?
1.2.5
Apa manifestasi klinis dari demam tifoid ?
1.2.6
Bagaimana pemeriksaan penunjang dari demam tifoid ?
1.2.7
Bagaimana penetalaksanaan medis dari demam tifoid ?
1.2.8
Apa komplikasi dari demam tifoid ?
1.2.9
Bagaimana cara mencegah demam tifoid ?
1.2.10 Bagaimana hasil
penelitian kasus demam tifoid ?
1.2.11 Bagaimana legal etisnya
?
1.2.12 Bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan demam tifoid ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Umum
1.3.1.1
Untuk mengetahui Demam Tifoid dan asuhan keperawatan pada pasien Demam Tifoid
1.3.2
Khusus
1.3.2.1
Mengetahui anatomi dan fisiologi usus halus.
1.3.2.2
Mengetahui
definisi dari demam tifoid.
1.3.2.3
Mengetahui
etiologi dari demam
tifoid.
1.3.2.4
Mengetahui
patofisiologi dari demam tifoid.
1.3.2.5
Mengetahui
manifestasi klinis dari demam tifoid.
1.3.2.6
Mengetahui
pemeriksaan penunjang
dari demam
tifoid.
1.3.2.7
Mengetahui
penetalaksanaan medis
dari demam tifoid.
1.3.2.8
Mengetahui komplikasi dari demam tifoid.
1.3.2.9
Mengetahui cara mencegah demam tifoid.
1.3.2.10 Mengetahui hasil
penelitian demam tifoid.
1.3.2.11 Mengetahui legal etis.
1.3.2.12 Mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien dengan demam tifoid.
1.4 Manfaat
Dari makalah ini diharapkan mahasiswa dan pembaca
dapat memahami pengertian dan asuhan keperawatan dari Demam Tifoid. Dan dapat mencegah
terjadinya penyakit tersebut. Mengetahui tanda dan gejala sehingga kita sebagai
perawat mampu bertindak sesuai dengan suhan keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Anatomi dan Fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris
(mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung),
intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus.
Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus
(intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6
m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil
pencernaan yang terdiri dari : lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah
dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus
longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
a.
Usus halus (usus
kecil)
Usus
halus atau usus kecil adalah
bagian dari saluran pencernaan
yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan
mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot
memanjang (M longitidinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus
terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus
penyerapan (ileum).
1. Duodenum
(Usus dua belas jari)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah
bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan
bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran
yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal
dari bahasa Latin duodenum
digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas
jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk
ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh
usus halus. Jika penuh, duodenum akan
megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
2. Jejenum
(Usus Kosong)
Usus kosong atau jejunum
(terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua
belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan
usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus
penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan
usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti
"lapar" dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa
Laton, jejunus, yang berarti "kosong".
3. Ileum
(Usus Penyerapan)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian
terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
Absorbsi
Absorbsi makanan yang
sudah dicerna seluruhnya berlangsung didalam usus halus melalui 2 saluran
yaitu pembuluh darah kapiler dalam darah dan saluran limfe disebelah dalam
permukaan vili usus. Sebuah vili berisi laktat, pembuluh darah epithelium dan
jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi
membran dasar dan ditutupi oleh epithelium.
Fungsi
usus halus
-
Menerima zat-zat
makanan yang sudah di cernah untuk di serap melalui kapiler – kapiler darah dan
saluran – saluran limfe.
-
Menyerap protein
dalam bentuk asam amino.
-
Karbohidrat dalam
bentuk monosakarida.
Di dalam usus halus terdapat kelenjar
yang menghasilkan getah usus yaitu :
-
Enterokinase ,
mengaktifkan enzim proteolitik.
-
Eripsin
menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
-
Laktase mengubah
lactase manjadi monosakarida.
-
Maltose mengubah
maltase menjadi monosakarida.
-
Sukrose mengubah
sukrosa manjadi monosakarida.
b. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari :
a. Kolon asendens (kanan)
b. Kolon transversum
c. Kolon desendens (kiri)
d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan
rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat
di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu
penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat
zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal
dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa
menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
c. Rektum dan Anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur")
adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan
keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material
akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk
periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan
terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan
keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam
pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana
bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh
(kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan
dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB), yang merupakan fungsi utama
anus.
Fungsi
usus besar adalah:
a. Menyerap air dan makanan
b. Tempat tinggal bakteri koli
c. Tempat feses
2.2
Definisi
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang
disebabkan infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan
dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare, 2002). Tifoid adalah penyakit
infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella
Thypi (Mansjoer, A, 2009).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B, C. Sinonim
dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis (Sudoyo, A.W.,
& B. Setiyohadi, 2006). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus,
tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus
abdominalis (Seoparman, 2007).
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang
menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa,
salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara fecal,
oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansjoer, A, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan
oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan
dan minuman yang terkontaminasi.
2.3
Etiologi
Penyebab dari demam thypoid yaitu :
1.
96 % disebabkan oleh Salmonella
Typhi,
basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya
3 macam antigen, yaitu :
a.
Antigen O (somatic
terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b.
Antigen (flagella)
c.
Antigen VI dan
protein membran hialin
2.
Salmonella paratyphi
A
3.
Salmonella paratyphi
B
4.
Salmonella paratyphi
C
5.
Feces dan urin yang terkontaminasi
dari penderita typus (Wong ,2003).
Kuman
salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 370C dan mati pada suhu 54,40C (Simanjuntak, C. H, 2009).
2.4
Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman).
Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh asam HCL lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus. Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka
basil Salmonella akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya menuju lamina
propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal
dan kelejar getah bening mesenterika.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening
mesenterika mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah
(bakterimia) melalui ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui
sirkulasi portar dari usus.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi
limfosit, zat plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan
pembesaran limfa (splenomegali). Di organ ini, kuman S. Thypi berkembang
biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia kedua
yang disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan gangguan mental koagulasi).
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh
darah di sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia.
Proses patologis ini dapat berlangsung hinga ke lapisan otot, serosa usus, dan
mengakibatkan perforasi usus. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel
kapiler dan dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik
kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama
timbulnya penyakit, terjadi jyperplasia (pembesaran sel-sel) plak peyeri.
Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak peyeri
pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses
penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).
2.5
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan
terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Secara
garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu
atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran.
Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah
minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda
antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak
lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan
limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin
disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium. Roseola
(rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau
awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman
salmonella.
Berikut gejala Klinis
yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada
kasus–kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
a. Minggu I
Dalam
minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
b. Minggu II
Dalam
minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
c. Minggu III
Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada
mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui
tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa
membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan
tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan keasadaran
Umumnya
kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai
samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah.
Disamping
gejala–gejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala
lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan
karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama
demam kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula
ditemukan epistaksis.
Transmisi
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files,
Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran
yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan
penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan
kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal (Sudoyo, A.W., &
B. Setiyohadi. 2006). Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari
(bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan.
Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis (soegijanto,S,
2002).
2.6
Pemeriksaan penunjang
1. Uji Widal : untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella
Thypi.
Uji widal
adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a.
Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman).
b.
Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c.
Aglutinin VI, yang
dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga
aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif. Namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif. Namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible
Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom
demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan
dasar.
2. Probable
Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160
atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite
Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan ataupositif
S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat
(pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640
(pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007).
4. Pemeriksaan darah tepi : untuk melihat tingkat
leukosit dalam darah, adanya leucopenia.
5. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya bakteri
Salmonella Thypi dan leukosit.
6. Pemeriksaan feses : untuk melihat adanya lendir dan
darah yang dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
7. Pemeriksaan sumsum tulang : untuk mendeteksi adanya
makrofag.
8. Serologis : untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi
antara antigen dan antibodi (aglutinin).
9. Radiologi : untuk mengetahui adanya komplikasi dari
Demam Thypoid.
10. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat
tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya thypoid.
2.7
Penatalaksanaan Medis
a. Obat-obatan antibiotika yang biasa digunakan ialah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksisilin.
b. Antipiretik.
c. Bila perlu diberiikan laksansia.
d. Tirah baring selama demam, untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus.
e. Mobilisasi terhadap bila tidak panas, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.
f. Diet: pada permulaan, diet makan yang tidak merangsang
saluran cerna, dalam bentuk saring atau
lunak.
g. Makanan dapat ditingkatkan sesuai perkembangan keluhan
gastrointestinal, sampai makanan biasa.
h. Tindakan operasi bila ada komplikasi perforasi.
i. Transfusi bila diperlukan pada komplikasi perdarahan.
2.8
Komplikasi
- Komplikasi intestinal : perdarahan usus,
perforasi usus dan ileus paralitik.
- Komplikasi ekstra intestinal :
·
Komplikasi
kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis ), miokarditis,
thrombosis dan thromboplebitis.
·
Komplikasi
darah : anemia hemolitik, trombositopeni dan atau “adisseminated intravascular
coagulation” ( DIC) dan sindromuremia hemolitik.
·
Komplikasi
paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
·
Hepar
dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis.
·
Komplikasi
ginjal : glomerulonefritis, pieloneftritis.
·
Komplikasi
Neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polyneuritis perifer, psikosis.
2.9
Pencegahan
Pencegahan
dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
a.
Pencegahan
Primer
Pencegahan
primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat
atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan
dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi
yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
1.
Vaksin oral Vivotif
Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1
minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindiksi pada wanita hamil, ibu
menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.
2.
Vaksin
parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved).
Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1
ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam,
nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3.
Vaksin
polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar
dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
b.
Pencegahan
Sekunder
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis
penyakit demam tifoid, yaitu :
-
Diagnosis
klinik.
-
Diagnosis
mikrobiologik/pembiakan kuman.
-
Diagnosis
serologik.
Pencegahan
sekunder dapat berupa :
-
Penemuan
penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam
tifoid.
-
Perawatan umum
dan nutrisi yang cukup
-
Pemberian anti
mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa
telah dibuat. pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat
menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu
obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
c.
Pencegahan
Tersier
Pencegahan
tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap
terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita
demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
2.10
Hasil Penelitian
Berhubungan dengan Kasus
Penelitian
1
Demam
typhoid merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pencernaan. Dari
laporan Rumah Sakit Umum Tanjungpandan Belitung tahun 2008, demam typhoid
menempati urutan ke empat, sebanyak 53 kasus. Berdasarkan data di Rumah Sakit
Umum Tanjungpandan Belitung, pada bulan Januari-Mei 2009 terdapat 88 kasus
demam typhoid. Penderita demam typhoid selalu ada setiap bulannya, dengan kasus
terbanyak pada usia antara 14-50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara beberapa faktor kondisi sanitasi lingkungan rumah
dan perilaku kesehatan dengan kejadian demam typhoid di Tanjungpandan. Jenis
penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan metode survey dan
pendekatan kasus-kontrol. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square
dengan tibgkat kemaknaan 95%. responden yang didapatkan sejumlah 53 orang
kelompok kasus dan 53 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor risiko kondisi sanitasi lingkungan rumah dan perilaku kesehatan
yang berhubungan dengan terjadinya demam typhoid adalah penyediaan air bersih
yang tidak memenuhi syarat dengan nilai p = 0,016, OR = 2,96, 95% CI = 1,20 -
7,38;pengelolaan tinja yang tidak baik dengan nilai p = 0,033, OR = 2,82, 95%
CI = 1,08 - 7,50;kebiasaan pengelolaan makanan dan minuman yang tidak baik
dengan nilai p = 0,046, OR = 2,44, 95% CI = 1,01 - 5,92. Disimpulkan bahwa
faktor kondisi sanitasi lingkungan berhubungan dengan penyakit demam typhoid di
Tanjungpandan. Kata Kunci: Sanitasi lingkungan, perilaku kesehatan, penyakit demam
typhoid
Penelitian 2
Latarbelakang: Di Indonesia demam tifoid bersifat endemik
dan dari telaah kasus
di beberapa rumah sakit, menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ketahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian 0,6% - 5,0 %. Penelitian mengenai demam tifoid pada kelompokusia <5 tahun belum banyak dilaporkan.
Tujuan: mengetahui gambaran klinis dan laboratories demam tifoid pada anak usia kurangdari
5 tahun dan membandingkan dengan anak usia di atas 5 tahun (5-14 tahun).
Metoda: penelitian non-eksperimental bersifat retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien demam tifoid anak dengan konfirmasi biakan Salmonella. Data diambil dari catatan rekam medic pasien demam tifoid yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unpad/RSHS Bandung dari bulan Januari 1996 sampai dengan Desember 2003.
Hasil: Selama kurun waktu
1996 - 2003 didapatkan kasus demam tifoid berusia <5 tahun 108/256 (42,2%). Dengan rasio laki-laki dan perempuan 1:1,20. Selain keluhan demam, obstipasi dan diare merupakan gejala
yang paling sering ditemukan. Bradikardi relatif, hepatomegali dan lidah tifoid merupakan pemeriksaan yang sering ditemukan selain demam. Lebih dari setengah pasien didapatkan anemia dan trombositopenia. Komplikasi terjadi pada 25% kasus, yaitu gangguan neuropsikiatrik,
sepsis dan syok septik, miokarditis dan ileus. Satu pasien meninggal dengan penyebab kematian syok septik.
Kesimpulan: insidens demam tifoid pada anak usia <5
tahun cukup tinggi, insidens semakin tinggi sesuai dengan bertambahnya usia. Tidak ada perbedaan yang bermakna dalam gambaran klinis, laboratories dan komplikasi pada demam tifoid kelompok anak berumur <5
tahun dibandingkan dengan anak umur >5 tahun.
2.11
Legal Etis
a.
Nilai
Keyakinan (beliefs) mengenai arti dari suatu ide, sikap, objek,
perilaku, dll yang menjadi standar dan mempengaruhi prilaku seseorang.
Nilai menggambarkan cita-cita dan harapan-harapan ideal
dalam praktik keperawatan.
b. Etik
Kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem
nilai, standar perilaku individu dan atau kelompok tentang penilaian terhadap
apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang
merupakan kebajikan dan apa yang merupakan kejahatan, apa yang dikendaki dan
apa yang ditolak.
c.
Etika
Keperawatan
Kesepakatan/peraturan tentang penerapan nilai moral dan
keputusan- keputusan yang ditetapkan untuk profesi keperawatan (Wikipedia,
2008).
d.
Prinsip
Etik
1. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien
2. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya
3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang
lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/
orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan
pasiennya
4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain).
kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan
kerugian atau cidera
Prinsip :
Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan
menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat orang lain
berdaya dan melukai perasaaan orang lain.
5. Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang
pasien/klien yang dipercayakan pasien kepada perawat.
6. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan
adil sendiri berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.
7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
-
Kewajiban
untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang
telah diambil
-
Era
modern , pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada satu
profesi). 80% kebutuhan pt dipenuhi perawat
-
Masing-masing
profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
-
Memiliki
keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati.
8.
Veracity (Truthfullness & honesty)
-
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.
-
Terkait
erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
-
Prinsip
veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan kebenaran.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian
dengan pasien Demam Thypoid, meliputi :
1.
Identitas
Identitas
pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
2.
Keluhan utama
Demam lebih
dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai
somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan
nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan
atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
3.
Riwayat penyakit saat ini
Ingesti
makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi dengan
minuman.
4.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah
menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
5.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tifoid
kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid dan
menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal.
6.
Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
A.
Keadaan Umum
Pada fase
awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubahan. Pada fase lanjut,
secara umum pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan penurunan tingkat
kesadaran (apatis, delirium).
B.
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik :
Kepala
– kaki, nadi,
respirasi, temperatur yang merupakan tolak ukur dari
keadaan umum pasien / kondisi pasien
dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi,
palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan
BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga
dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.
1.
Pernafasan B1 (breath)
-
Bentuk dada : simetris
-
Pola nafas : teratur
-
Suara
nafas : tidak ada bunyi nafas tambahan
-
Sesak nafas : tidak ada sesak nafas
-
Retraksi otot bantu nafas: tidak ada
-
Alat bantu pernafasan : tidak ada alat bantu pernafasan.
2.
Kardiovaskuler B2 (blood)
-
Penurunan tekanan darah
-
Keringat
dingin
-
Diaforesis
sering didapatkan pada minggu pertama.
-
Kulit pucat
3.
Persyarafan
B3 (brain):
-
Penglihatan (mata) : Gerakan
bola mata dan kelopak mata simetris, konjungtiva
tampak anemis, sklera putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, produksi air mata (+), tidak menggunakan
alat bantu penglihatan.
-
Pendengaran (telinga) : Bentuk D/S simetris, mukosa lubang hidung
merah muda, tidak ada cairan dan serumen, tidak
menggunakan alat bantu, dapat merespon
setiap pertanyaan yang diajukan dengan tepat.
-
Penciuman (hidung) : Penciuman dapat membedakan bau-bauan,
mukosa hidung merah muda, sekret tidak ada,
tidak ada terlihat pembesaran mukosa atau polip.
-
Kesadaran :
kompos mentis
4.
Perkemihan B4 (bladder)
-
Kebersiahan : bersih
-
Bentuk alat kelamin : normal
-
Uretra :
normal
-
Produksi urin : normal, BAK tidak menentu,
rata-rata4-6 X sehari, tidak
pernah ada keluhan batu atau nyeri.
5.
Pencernaan B5 (bowel)
-
Nafsu makan : anoreksia
-
Porsi makan : ¼ porsi
-
Mulut :
Bibir tampak kering, lidah tampak kotor (keputihan),
gigi lengkap, tidak ada pembengkakan
gusi, tidak teerlihat pembesaran
tonsil.
-
Mukosa :
pucat.
6.
Musculoskeletal/integument B6 (bone)
-
Kemampuan pergerakan sendi : normal
-
Kondisi tubuh : kelelahan, malaise.
B.
Diagnosa Keperawatan
1.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses
inflamasi kuman salmonella thypii.
2.
Gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
3.
Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh.
4.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
5.
Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan
konstipasi.
C.
Intervensi Keperawatan
1.
Hipertermi
berhubungan dengan proses infeksi, proses peradangan
Tujuan : Setelah
diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, suhu
tubuh normal
Kriteria hasil :
-
Tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh
-
TD : 80-120/60-80 mmhg
-
N : 60-100 x/menit
-
S : 36,5-37 0C
-
RR
: 16-24 x/menit
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
:
1. Beri kompres pada daerah axila
2. Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan
menggigil.
HE :
3. Anjurkan untuk banyak minum air putih
Kolaborasi :
4. Kolaborasi pemberian antipiretik, antibiotik
Observasi :
5. Observasi tanda-tanda vital
|
1. Pemberian kompres dapat menyebabkan peralihan panas secara konduksi dan
membantu tubuh untuk menyesuaikan terhadap panas
2. Hipertermi menunjukan proses penyakit infeksius
akut. Pola demam menunjukkan diagnosis.
3. Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi
dengan asupan cairan yang banyak
4. Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik
menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri.
5. Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan
menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya.
|
2.
Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :
-
Tidak ada keluhan nyeri
-
Wajah tampak rileks
-
Skala nyeri 0-1
-
TD : 80-120/60-80 mmhg
-
N : 60-100 x/menit
-
S :
36,5-37 0C
-
RR : 24-32 x/menit
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri :
1.
Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.
HE :
2.
Ajarkan tehnik nafas
dalam.
3.
Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik
relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas hiburan yang tepat.
Kolaborasi :
4.
Kolaborasi obat-obatan analgetik.
Observasi :
5.
Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri.
|
1.
Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks
sehingga merelaksasikan otot-otot.
2.
Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot
sehingga mengurangi nyeri
3.
Meningkatkan relaksasi dan
pengalihan perhatian
4.
Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi
rasa nyeri
5.
Sebagai indikator dalam melakukan intervensi
selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan.
|
3.
Resiko defisit volume cairan
berhubungan dengan hipertermi, intake inadekuat
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak terjadi defisit volume
cairan
Kriteria
hasil :
-
Tidak
terjadi tanda-tanda dehidrasi
-
Keseimbangan
intake dan output dengan urine normal dalam konsentrasi jumlah
Interevensi
|
Rasional
|
Mandiri :
1. Berikan cairan peroral pada klien
sesuai kebutuhan
HE :
2. Anjurkan kepada orang tua klien
untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
Kolaborasi :
3. Kolaborasi pemberian cairan
intravena
Observasi :
4. Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik,
riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit
5. Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat
dan lemah
|
1. Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan
2. Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume
cairan tubuh
3. Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan
cairan yang hilang
4. Hipotensi, takikardia, demam dapat
menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari kehilangan cairan
5. Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok
|
4.
Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia, nausea, intake inadekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 X 24 jam kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria
hasil :
-
Nafsu makan
meningkat
-
Tidak ada
keluhan anoreksia, nausea.
-
Porsi makan
dihabiskan
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri :
1.
Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
2.
Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi
protein
HE :
3.
Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk
memberikan makanan yang disukai
4.
Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk
menghindari makanan yang mengandung gas/asam, pedas
Kolaborasi :
5.
Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi
Observasi :
6.
Kaji kemampuan makan klien
|
1.
Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa
mual dan muntah
2.
Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat
3.
Menambah selera makan dan dapat menambah asupan
nutrisi yang dibutuhkan klien
4.
Dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu
mual dan muntah dan menurunkan asupan nutrisi
5.
Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang
dapat memicu mual/muntah
6.
Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai
indikator intervensi selanjutnya
|
5.
Gangguan pola eliminasi BAB
berhubungan dengan konstipasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, pola eliminasi kembali normal
Kriteria
hasil :
-
Klien
melaporkan BAB lancer
-
Konsistensi
lunak
Intervensi
|
Rasional
|
HE :
1.
Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang
merangsang BAB
Kolaborasi :
2.
Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi
Observasi :
3.
Kaji pola eliminasi klien
4.
Auskultasi bising usus
5.
Selidiki keluhan nyeri abdomen
6.
Observasi gerakan usus, perhatikan warna,
konsistensi, dan jumlah feses
|
1.
Mengatasi konstipasi yang terjadi
2.
Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan
perlahan.
3.
Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan
intervensi selanjutnya
4.
Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat
inflamasi, penumpukan fekalit
5.
Berhubungan dengan distensi gas
6.
Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi
ketepatan intervensi
|
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang
disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella. Secara garis besar
gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam demam satu minggu atau lebih,
gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
4.2 Saran
Agar kita tidak terkena atau tertular
penyakit demam tifoid, sebaiknya kita harus membiasakan diri untuk hidup sehat,
saat mengkonsumsi makanan maupun minuman dan biasakan pula untuk mencuci tangan
sebelum makan. Agar kuman salmonella tidak ikut tertelan masuk ke dalam system
pencernaan kita bersama makanan yang telah terkontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana. 2011. Asuhan
Keperawatan Demam Thypoid. http://adriananers.blogspot.com/2011/12/asuhan-keperawatan-demam-thypoid.html . diakses
pada tanggal 24 Februari 2013 pada pukul
20.53 WIB
Carolus, P.K Sint. 1994.
Demam Tifoid. Jakarta: Salemba.
Nn. 2011. Asuhan
Keperawatann Klien dengan Demam Typoid. http://d3keperawatanperintis.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-klien-dengan-demam.html . Diakses tanggal 26 Februari 2013 pada pukul
09.54 WIB
Pasunda, Elvin. 2013. Askep Demam
Thypoid (Tipus). http://elvin-pasunda.blogspot.com/2013/02/askep-demam-thypoid-tipus.html
. diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pada pukul 20.57 WIB
Ramdhani,
Rizky. 2009. Hubungan Beberapa Faktor
Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku Kesehatan dengan Kejadian Demam
Typhoid di Tanjungpandan Bengkulu. http://eprints.undip.ac.id/31133/ . diakses pada tanggal 25
Februari 2013 pada pukul 06.32
Susanti, Ilma Karsi. 2012. Askep Demam Tifoid. http://achy27askepners.wordpress.com/2012/12/14/askep-demam-tifoid/
. Diakses tanggal 24 Februari 2013 Pukul 20.43 WIB
Tambayong, dr. Jan. 2000. Patofisologi Untik Keperawatan. Jakarta: EGC