BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Difteri
adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan
Keperawatan pada Anak)
Kuman C.
diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun
dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya
serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang
ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya
tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane
putih/keabu-abuan.3
Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang
terjadi. Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan
kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae
yang merupakan satu-satunya cara pengendalian efektif untuk penyakit difteri.
Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang bertujuan
untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan
meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi
difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1,
DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain
penelitian yang digunakan adalah cross sectional.
1.2
Rumusan masalah
1.2.1 Bagaimana anatomi fisiologi saluran
nafas atas ?
1.2.2 Bagaimana definisi difteri ?
1.2.3 Bagaimana etiologi difteri ?
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi difteri ?
1.2.5 Bagaimana klasifikasi difteri ?
1.2.6 Bagaimana Manifestasi difteri ?
1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan difteri ?
1.2.8 Bagaimana Pencegahan difteri ?
1.2.9 Bagaimana komplikasi difteri ?
1.2.10 Bagaimana hasil penelitian
difteri ?
1.2.11 Bagaimana system pelayanan kesehatan
difteri ?
1.2.12 Bagaimana legal etis difteri ?
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan
umum
Untuk mempelajari difteri
1.3.2
Tujuan
khusus
a. Untuk mengetahui Anatomi dan
fisiologi traktus respiratorius atas
b. Untuk mengetahui Definisi
difteri
c. Untuk mengetahui etiologi difteri
d. Untuk mengetahui patofisiologi dan
WOC difteri
e. Untuk mengetahui Klasifikasi difteri
f. Untuk mengetahui Manifestasi difteri
g. Untuk mengetahui Penatalaksanaan
difteri
h. Untuk mengetahui Pemeriksaan
diagnostic
i.
Untuk
mengetahui Pencegahan difteri
j.
Untuk
mengetahui komplikasi difteri
k. Untuk mengetahui hasil penelitian difteri
l.
Untuk mengetahui
system pelayanan kesehatan difteri
m. Untuk mengetahui legal etis difteri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
dan Fisiologi saluran nafas atas
2.1.1
Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher
depan sampai kolumna vertebra. Terdiri
dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah
epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju
ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah,
otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah
satu tulang tenggorokan untuk mamalia.2
a.
Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa
bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus
faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh
sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais.
Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa.
Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.2
Gigi ditunjang oleh krista alveolar
mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada
bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi
dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan
tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat
dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan
oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah
dikenal dengan trigonum retromolar.2
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum
dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang.
Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan
orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang
abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah
dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan
kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau
xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.2
Lidah merupakan organ muskular yang aktif.
Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi.
Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian
depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga
lidah bagian belakang.2
b.
Faring
Faring
bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi,
kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah
berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang
dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring).2
Pada
mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian
bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior,
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua
struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot
tensor veli palatini, merupakan otot
yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke faring
melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus
tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh
saraf mandibularis melalui ganglion otic.2
Orofaring
ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam
kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan
tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang
dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini
membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh
pleksus faringeus.2
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut
lendir (mucous blanket) dan otot:
1.
Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung
pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka
mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.
Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk
saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak
sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk
dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga
daerah pertahanan tubuh terdepan.2
2.
Palut Lendir (Mucous
Blanket)
Daerah
nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi
untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut
lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.2
3.
Otot
Faring
merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui
oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari
otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis,
akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air
liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.2
4.
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber
dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis
eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a.maksila interna yakni cabang palatina superior.2
5.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah
faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh
cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang
ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring
yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).2
6.
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat
melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior
mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening
servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa
inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.2
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
1.
Nasofaring
Berhubungan
erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller,
kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri,
torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius.2
2.
Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas
atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan
adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur
yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.2
a.
Dinding posterior faring
Secara
klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.2
b.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring
anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior.
Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil
yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu
kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2
c.
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari
jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.2
Terdapat
macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah.2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka
ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil
ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.2
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat
pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil
mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.2
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan
dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid)
atau kista duktus tiroglosus.2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul
tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum
mole sebagai abses peritonsilar.2
3.
Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior
adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara
lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring,
batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal.
Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. 2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca
tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar
lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga “ kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila
menelan pil akan tersangkut disitu.2
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada
bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.
Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus.2
Nervus laring superior berjalan dibawah
dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.2
2.1.2 Fisiologi
a.Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan,
resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas.
Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
1.
Penelanan
Proses
penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap
ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah
yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah
lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra
hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam
gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah
bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan
dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus
dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya
berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.2
2.
Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi
gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain
berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan
penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring
dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor
faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.
Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.2
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan
Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang
mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum.2
2.2 Definisi
Difteri
adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan
Keperawatan pada Anak)
Difteri adalah penyakit infeksi yang
mendadak yang disebabkan oleh kuman Coryneabacterium diphteria. Mudah menular
dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas
terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan
Anak)
2.3 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae,
bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil
ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman
bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok
dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media
sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga
untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu,
seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale
agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk
koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna
abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang
terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular,
berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam,
konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai
bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen
dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravisialah dapat
memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak.
Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya
berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah
termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang
tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi
non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium
atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan
suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen
dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek
precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai
sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase
chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid
enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih
singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri
ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip
dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis
dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang
mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran
yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena
terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin
yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah
0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih
1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada
jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria
akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.
2.4 Pathofisiology dan
WOC
Kuman C.
diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel
dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan
ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan
cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya
gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses
translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin
difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga
terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)
Pada
pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin
yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila
toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam
sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan
system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
(4)
2.4 Klasifikasi
Menurut tingkat
keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya
terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah
menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai
menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat
disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang
otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang
ginjal).
Disamping itu, penyakit ini
juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:
a) Difteri hidung (nasal diphtheria) bila
penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi
Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung
mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan
tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat
celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan
kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih
keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut
(faring).
c) Difteri laring ( laryngo tracheal
diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,
demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak
kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d) Difteri
kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa-apa.
2.5 Manifestasi
Klinis
Tanda
dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah
toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa
inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan
lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak
tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3
Dalam
24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula.
Mula-mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal,
abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke
dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan
dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa
menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak
membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada
hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3
Gejala
local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan
membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau
malignant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat
dan membrane secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema
tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar
leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga
yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri
menelan.
a. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil
yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang makin lama makin meluas, dan
dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian
besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai
hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek,
sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam
hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil,
faring dan laring.
b. Gejala
akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.4
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Isolasi dan karantina
Penderita di
isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut
terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana:
a)
Biakan hidung dan
tenggorok
b)
Seyogyanya dilakukan tes
SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)
c)
Diikuti gejala klinis
setiap hari sampai masa tunas terlewati.3
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster
dengan toksoid diftery.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK
test - : pengobatan karier’
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery +
penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).3
2.6.2 Pengobatan
a. Tindakan Umum
1. Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki
keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang
timbul
2. Jenis
Tindakan :
a)
Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b)
Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan
dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair,
bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis
palatum molle dan otot-otot faring).
c)
Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat
pembantu defekasi (klisma, laksansia,
d)
stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
e)
Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
f)
Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
g)
Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri
laring.
h)
Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
1. Berikan Oksigen
2. Trakeostomi, yang mana disesuaikan
dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
i)
Penderita
tenang dengan cekungan ringal suprasternal
j)
Retraksi
suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
k) Retraksi supra dan infrasternal,
penderita gelisah
l)
Penderita
sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu
tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
b.
Tindakan Spesifik
1. Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
2. Jenis Tindakan (Ada 3 jenis
pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis
diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
a) 40.000 IU untuk difteri sedang,
yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral.
b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni
luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding
faring.
c) 120.000 IU untuk difteri sangat
berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,
komplikasi berupa miokarditis,
kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri
|
Dosis DS (KI)
|
Cara Pemberian
|
Difteri hidung
|
20.000
|
IM
|
Difteri tonsil
|
40.000
|
IM atau IV
|
Difteri faring
|
40.000
|
IM atau IV
|
Difteri laring
|
40.000
|
IM atau IV
|
Kombinasi lokasi di atas
|
80.000
|
IV
|
Difteri + penyulit, bullneck
|
80.000-120.000
|
IV
|
Terlambat berobat (>72 jam),
lokasi dimana saja
|
80.000-120.000
|
IV
|
SAD
diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam
200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34
tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik
ini maka harus dilakukan :
1.
Uji Kepekaan
a. Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan
membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah
pemberian serum.
b. Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit
harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval
5-15 menit ).
c. Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji
Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
a) Tes kulit
a. SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam
NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
b. Dianggap positif bila teraba
indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
b)
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam
NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan
sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit
kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda
konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan
adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+),
maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap,
yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai
berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara
subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20
secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10
secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara
subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara
drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan
adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik
a.
Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal
3 gram/hari·
b.
Eritromisin (bila alergi PP) 50
mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid
a. Indikasi : Difteri berat dan sangat
berat (membran luas, komplikasi bull neck)
b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3
minggu.
c. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia)
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. Schick test
Tes
kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna
untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan
ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang
telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick
dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24
jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada
pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus,
penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin
ringan.
2.8 Komplikasi
1. Gangguan
pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di
daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih
keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat
lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin
(racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain
dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti
radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis
muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal
jantung kongestif dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf
Toksin
juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana
konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf
pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah.
Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka
otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan
alat bantu napas.
2.9 Pencegahan
a. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
b. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi
selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita
tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi
terhadap difteri.
c. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan
pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan.
Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia
imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan
pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2
bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi
yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup
proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1.
Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan
kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria
dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2.
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan
melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria
toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di
Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole
cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga
telah tersedia.
3.
Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang
direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain
dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a)
Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis
pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi
berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3
diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia
masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis
ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan
kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b)
Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan
bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin
yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid
(dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah
diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus
dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu
dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang
terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin
tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh
karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu
dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4.
Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang
terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara
memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis
booster Td kepada mereka.
5.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah
dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi
HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi
orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon
kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan
Lingkungan Sekitar
a.
Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita
difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak
hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit
pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini
harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka
tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang
tepat (lihat 9B7 di bawah).
b.
Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang
yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge
penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
c.
Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang
pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau
terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus
diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan
cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan
bahwa mereka bukan carrier.
d.
Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus
dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari.
Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis
pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk
diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria
tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau
menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan
tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier.
Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu
diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima
sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah
diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP
atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
e.
Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian
carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan
tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat
jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
2.10 Hasil penelitian
Kematian terjadi pada
5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum dengan toksoid
difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan
untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara
pengendalian efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis
penelitian analitik observasional yang bertujuan untuk mengetahui adanya
hubungan antara status imunisasi difteri dengan meningkatnya kasus difteri di
Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam
penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster
beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah
multistage random sampling dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 51 anak yang terdiri dari 2 anak penderita, 3 anak karier dan 46 anak
lainnya bebas dari kuman C.diphteriae. Penelitian dilakukan pada bulan
September 2010 sampai dengan Oktober 2010 mulai dari pengurusan perizinan
hingga pengambilan data primer. Data didapatkan dari hasil wawancara kepada ibu
dari responden mengenai status imunisasi anaknya. Analisis data yang dilakukan
meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat meliputi
persentase dari status imunisasi difteri serta persentase jumlah penderita dan
carrier difteri. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Fiesher
Exact (setelah uji chi square tidak memenuhi syarat) dengan tingkat signifikan
95% (p<0,05) untuk mencari hubungan antara variabel bebas (faktor kontak dan
status imunisasi) dengan variabel terikat (keberadaan kuman C.diphterie), serta
menggunakan uji koefisien kontingensia untuk mengetahui kuat hubungan antara
kedua variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna pemberian imunisasi difteri dengan keberadaan kuman C. diphteriae pada
anak (p = 0,23 ; C = 0,2), sementara status kontak berpengaruh terhadap
keberadaan kuman C. diphteriae pada anak (p = 0,00 ; C = 0,9). Status imunisasi
pada penelitian ini meliputi imunisasi DPT1 (p = 0,34 ; C = 0,18), imunisasi
DPT2 (p = 0,28 ; C = 0,16), imunisasi DPT3 (p = 0,23 ; C = 0,2), dan imunisasi
DT booster (p = 0, 82 ; C = 0,34) menunjukkan hubungan yang kurang bermakna
terhadap keberadaan kuman C. diphteriae pada anak. Berdasarkan hasil penelitian
maka saran yang dianjurkan adalah kebijakan dalam pengelolaan vaksin hendaknya
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai dengan pedoman yang
ada. Keberhasilan imunisasi didukung oleh kualitas vaksin yang terjamin
mutunya. Selain itu, penyuluhan mengenai imunisasi dan vaksinasi hendaknya
lebih ditingkatkan untuk mencegah terjadinya drop out.
2.11 Sistem
Pelayanan Kesehatan
1.
Semua bayi usia kurang dari 1 tahun sudah harus mendapatkan 5 (lima) imunisasi
dasar lengkap (BCG, DPT, Hepatitis, Polio dan Campak
2.
Masyarakat diharapkan berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
3.
Bila ada masyarakat yang mengalami gejala seperti penyakit dipteri, secepatnya
berobat ke pelayanan medis terdekat (Puskesmas atau Rumah Sakit)
2.11 Legal etis
Dalam kasus ini, peran perawat
sebagai advokat harus bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam hal
inform concern atas tindakan keperawatan yang dilakukan. Selain itu juga harus
mempertahankan dan melindungi hak-hak klien serta memastikan kebutuhan klien
terpenuhi.
Prinsip Etika keperawatan
1. Otonomi
Prinsip bahwa individu
mempunyai hak menentuka diri sendiri, memperoleh kebebasan dan kemandirian
Perawat yg mengikuti prinsip
ini akan menghargai keluhan gejala subjektif (misal : nyeri pada faring), dan
meminta persetujuan tindakan sebelum prosedur dilaksanakan
2. Nonmaleficience
Prinsip menghindari tindakan
yg membahayakan. Bahaya dpt berarti dgn sengaja, risiko atau tidak sengaja
membahayakan.
Contoh : kecerobohan perawat
dalam memberikan pengobatan menyebabkan klien mengalami ketidaknyamana.
3.
Beneficience
Prinsip bahwa seseorang
harus melakukan kebaikan. Perawat melakukan kebaikan dengan mengimplementasikan
tindakan yg menguntungkan/bermanfaat bagi klien. Contohnya perawat memberikan
latihan batuk efektif untuk mengeleuarkan sekret
4.
Justice
Prinsip bahwa individu
memiliki hak diperlakukan setara.
Cth : ketika perawat
bertugas sendirian sementara ada beberapa pasien yang memerlukan penanganan.
Perwat harus terlebih dahulu memeberikan asuhan kepada pasien yang terkena difteri
5. Fidelity
Prinsip bahwa individu wajib
setia terhadap komitmen atau kesepakatan dan tgg jawab yg dimiliki.
Ex: perawat setia menjaga
pasien dengan sepenuh hati selama pasien mengalami keluhan seperti nyeri, sesak
nafas.
6. Veracity
Mengacu pada mengatakan
kebenaran. Contohnya ketika diberikan obat analgesik pasien akan cepat tertidur
jadi perawat harus menjelaskan dengan benar efek dari obat tersebut.
Nursing Advocasy
a. PERAWAT DAN
KLIEN
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.Ex: Perawat ketika
menangani penyakit Pneumonia tidak boleh membedakan antara pasien yang satu dengan
yang lainnya.
b. PERAWAT DAN
PRAKTIK
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi
dibidang keperawatan melalui belajar terus-menerus agar mengerti dengan jelas
tentang Pneumonia.
c. PERAWAT DAN
MASYARAKAT
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat
untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan
kesehatan masyarakat. Contohya perawat memberikan penyuluhan tentang Pneumonia.
d. PERAWAT DAN
TEMAN SEJAWAT
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan
perawat maupun dengan tenaga kesehaan lainnya, dan dalam memelihara keserasian
suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh.Perawat bertindak malindungi klien dan tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
Perawat harus selalu mengikuti prosedur yang benar dalam menangani pasien
Pneumonia
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. IDENTITAS
b. RIWAYAT KESEHATAN
-
Riwayat Kesehatan Sekarang
Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri
-
Riwayat Kesehatan Dahulu
Bersangkutan dari
etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang
masih akut
-
Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap
penyakit difteri
c. PEMERIKSAAN FISIK
Memeriksa TTV pada anak dan bmelakukan observasi secara
IPPA dari kepala samapai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring
dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog
Pemeriksaan fisik ROS
Ø
B1 :
Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas),
edema laring, obstruksi laring, penumpukan sekret dihidung,
Ø
B2 :
Blood (Cardiovascular system)
Tachicardi, kelemahan otot jantung,
sianosis.
Ø
B3
: Brain (Nervous system)
Normal
Ø
B4 :
Bladder (Genitourinary system)
Normal
Ø
B5 :
Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan,
kekurangan nutrisi
Ø
B6 :
Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil
toksin difteri ke dalam kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut
dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi
bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi
reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika
uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa
sekalipun harus diimunisasi secara aktif.
e. POLA AKTIVITAS
1.
Pola nutrisi dan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti
apakah nafsu amakan berkuarang
(anoreksia) muntah dsb
2.
Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan
mencatat frekuensi sehari
3.
Pola Aktifitas
dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah
dan lesu
4.
Pola tidur
dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur
5.
Kognitif
& perseptual : anak akan susah berkonsentrasi
6.
Persepsi diri :
Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih dalam tahap
perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita atau
kerna perspisahan
7.
Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek
hospitalisasi
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sesak nafas
- Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).
- Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
3.3 INTERVENSI
- Pola napas tidak efektif b.d. sesak nafas
Tujuan:
Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan
tindakan perawatan dalam 1 x 30 menit
Kriteria
hasil:
1. Respirasi
18 –24 x /menit
2. Tidak
ada tanda –tanda sianosis
3. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang / hilang
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji
frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada
|
Kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat
kegagalan napas
|
2. Auskultasi
bunyi napas dan catat adanya bunyi napas tambahan
|
Bunyi napas menurun bila jalan napas terdapat
gangguan (obstruksi,perdarahan,kolaps)
|
3. Tinggikan
kepala dan bantu mengubah posisi
|
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan
memudahkan pernapasan
|
4. Bantu
pasien dalam napas dalam dan latihan batuk
|
Dapat meningkatkan pernapasan karena adanya
obstruksi
|
5. Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan
|
Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
|
- Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
Tujuan
:
-
Perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada
distres pernafasan.
Hasil
yang diharapkan :
-
Menunjukkan
adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
-
Berpartisispasi
pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi
1. Kaji frekuensi atau kedalaman
pernafasan dan gerakan dada
2. Auskultasi area paru, satat area
penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius, mis.
Crackles, mengi.
3. Bantu pasien latian nafas sering.
Tunjukan atau bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada
dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
4. Berikan cairan sedikitnay 2500 ml
perhari(kecuali kontraindikasi). Tawrakan air hangat daripada dingin .
Kolaborasi :
5. Bantu mengawasi efek pengobatan
nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol,
perkusi, postural drainage. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi
cairan bila mungkin.
Berikan obat sesuai indikasi mukolitik, ekspektoran, bronchodilator, analgesic. |
1. Takypnea, pernafasan dangkal, dan
gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan
dinding dada dan atau cairan paru
2. Penurunan aliran udara terjadi
pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi nafas bronchial dapat juga terjadi
pada area konsolidasi. Crackles, ronchi dan mengi terdengar pada inspirasi
dan atau ekspirasi pada respon teradap pengupulan cairan , secret kental dan
spasme jalan nafas atau obstruksi.
3. Nafas dalam memudakan ekspansi
maksimum paru-paru atau jalan nafas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
pembersiaan jalan nafas alami, membantu silia untuk mempertaankan jalan nafas
paten. Penenkanan menurunkan
ketidaknyamanan
dada dan posisi duduk memungkinan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.
4. Cairan (khususnya yang
hangat)memobilisasi dan mengluarkan secret. Memudahkan pengenceran dan
pembuangan secret
5.
Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi
secret. Analgesic diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan.
|
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
1x24jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria
hasil
-
Klien Tidak ada mual muntah
-
Penambahan berat badan pasien
-
Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
Intervensi
|
Rasional
|
a.
Identifikasi
faktor yang menimbulkan mual/ muntah.
b.
Berikan
wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan
mulut.
c.
Jadwalkan
pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
d.
Auskultasi
bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.
e.
Berikan
makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang
menarik untuk pasien.
f.
Evaluasi
status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
|
a.
Rasional
:Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
b.
Rasional
:Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan
mual
c.
Rasional :Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan
pengobatan ini
d.
Rasional
:Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen
terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri
pada saluran gastro intestinal
e.
Rasional
:Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat
untuk kembali
f.
Rasional
:Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan
terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap terapi
|
- Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
Tujuan :
Volume
cairan pasien akan menjadi adekuat.
Kriteria Hasil :
Intake
cairanmeningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Timbang pasien
2.
Mengukur intake dan output cairan.
3. Kaji turgor kulit.
4. Observasi konsistensi sputum.
5. Observasi konsentrasi urine.
6. Monitor hemoglobin dan hematocrit.
7.
Observasi lidah dan mukosa membran.
8.
Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan.
|
1. Rasional : Periksa tambahan atau kehilangan cairan
2. Rasional : Menetapkan data keseimbangan cairan
3. Rasional : Kulit tetap baik berkaitan dengan inadekuat
cairan interstitial
4. Rasional : Sputum tebal menunjukkan kebutuhan cairan
5. Rasional : Urine terkonsentrasi mungkin menunjukkan
kekurangan cairan.
6. Rasional : Peninggian mungkin menunjukkan hemokonsentrasi
tepatnya kekurangan cairan.
7. Rasional Kekeringan menunjukkan kekurangan cairan.
8. Rasional : Mencegah kambuh dan melibatkan pasien dalam
perawatan
|
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi
3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
3.
Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri
hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal
4.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a) Panas
lebih dari 38 °C
b) Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c) Sakit
waktu menelan
d) Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karenapembengkakan
kelenjar leher
Daftar pustaka
Brunner &
Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol.1.
Jakarta:EGC
Agus.2011. Asuhan Keprawatan difteri. http://blitarnursingcybercenter.blogspot.com/2011/06/askep-difteri.html.
Diakses tanggal 21 Desember 2011, Pukul 19.00
Ira. Asuhan keperawatan difteri. http://quantumnursing2.blogspot.com/2009/12/asuhan-keperawatan.html.
Diakses tanggal 20 November 2009, Pukul 21.00
Sisi. 2011.
Penyakit difteri. http://shisiell-vierche.blogspot.com/2011/11/artikel-tentang-penyakit-difteri.html.
Diakses tanggal 23 Juli 2011, pukul 10.00
Ainizah.
2011. Difteri. http://ainizanoor.wordpress.com//.Diakses
tanggal 23 Juli 2011, pukul 10.00
Wahyu.
2012. Asuhan keperawatan difteri. http://nswahyunc.blogspot.com/2012_02_26_archive.html.
diakses tanggal 26 februari 2012, pukul 19.30