BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa)
adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarateristikan oleh kejadian
antesenden mayor, eksklusikardiogenik menyebabkan edema paru, adanya takipnea
dan hipoksia,daninfiltrate pucat pada foto dada.
ARDS ( juga disebutb syok paru)
akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat, sindrom ini mempengaruhi
kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun,dengan laju mortalitas
65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa). Faktor
resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor,
KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan
metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan
akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi
mekanik.
Sesuai dengan uraian diatas, dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa)
beserta asuhan keperawatan yang bisa dilakukan terhadap pasien dengan masalah
ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa).
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa yang di maksud dengan ARDS?
1.2.2
Bagaimana Etiologinya?
1.2.3
Bagaimanakah patofisiologinya?
1.2.4
Bagaimanakah manifestasi klinisnya?
1.2.5
Bagaimana penatalaksanaannya?
1.2.6
Apa saja komplikasi dari ARDS?
1.2.7
Bagaimanakah pemeriksaan penunjangnya?
1.2.8
Bagaimanakah asuhan keperawatan bagi pasien ARDS?
1.3
Tujuan
1.3.1
Menjelaskan tentang
definisi ARDS
1.3.2
Menjelaskan etiologi
dari ARDS
1.3.3
Menjelaskan
patofisiologinya
1.3.4
Menjelaskan manifestasi
klinisnya
1.3.5
Menjelaskan
penatalaksanaannya
1.3.6
Menjelaskan komplikasi
yang terjadi pada pasien ARDS
1.3.7
Menjelaskan pemeriksaan
penunjangnya
1.3.8
Menjelaskan asuhan
keperawatan pada pasien ARDS
BAB
2
PEMBAHASAN
A
Anatomo fisiologi
Anatomi
Saluran
penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakhea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung; Nares anterior adalah saluran-saluran
didalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara kedalam bagian yang dikenal
sebagai vestibulum (rongga hidung). Rongga hidung dilapisi sebagai selaput
lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan
faring dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk kedalam
rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar
tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid. Maka letaknya di belakang laring (laring-faringeal). Laring
(tenggorok) terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkan dari columna
vertebrata, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrata servikalis dan
masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
Laring
terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan
membran. Trakhea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea
berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima
dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus (bronchi). Trakhea tersusun
atas 16 – 20 lingkaran tak tetap yang berupa cincin tulang rawan yang diikat
bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang
trakhea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
Bronchus
yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kirakira vertebra
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh
jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke
arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang
kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang
utama lewat di bawah arteri, disebut bronkus lobus bawah. Bronkus kiri lebih
panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri
pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas
dan bawah.
Cabang
utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan
kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi
bronchus. Yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronchiolus
terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong
udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm.
bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh
otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Saluran-saluran udara ke bawah
sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena
fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas
paru-paru.
Alveolus
yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkiolus dan respiratorius
yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.
Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis dan sakus alveolaris
terminalis merupakan akhir paru-paru, assinus atau kadang disebut lobulus
primer memiliki tangan kira-kira 0,5-1,0 cm. terdapat sekitar 20 kali
percabangan mulai dari trachea sampai sakus alveolaris. Alveolus dipisahkan
oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru
terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura
yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat
cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga
lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua
lobus yaitu lobus superior dan inferior.
Tiap
lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe,
arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan
alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli,
sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran
gas. (Pearce,2002)
Fisiologi
Pernafasan
paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada
paru-paru. Pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan ekternal, oksigen
diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernafas, dan oksigen masuk melalui
trakea sampai ke alveoli berhubungan dalam darah dalam kapiler pulmonal.
Alveoli memisahkan oksigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil oleh
sel darah merah di bawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh
tubuh. Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi ketika konsentrasi
dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernafasan terdapat dalam otak
untuk memperbesar kecepatan dalam pernafasan sehingga terjadi pengambilan O2
dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandun
oksigen dari seluruh tubuh masuk kedalam jaringan mengambil karbon dioksida
dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernafasan eksterna. Besarnya daya
muat udara dalam paru-paru 4500-5000 ml (4,5-5 liter).
Udara
yang diproses dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10 %, kurang
lebih 500ml, disebut juga udara pasang surut (tidal air) yaitu yang dihirup dan
yang dihembuskan pada pernafasan biasa. Kecepatan pernafasan pada wanita lebih
tinggi dari pada pria. Pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul
inspirasi dan kemudian istirahat. Pada bayi ada kalanya terbalik
inspirasi-istirahat-ekspirasi, disebut juga penafasan terbalik. (Syaifuddin,
2006)
2.2 Definisi
ARDS
adalah penyakit akut dan progressif dari kegagalan pernafasan disebabkan
terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler yang disebabkan
oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik
interseluler maupun intraalveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000).
ARDS adalah suatu
kondisi yang ditandai oleh hipoksemia berat, dispnea dan infiltrasi pulmonari
bilateral. ARDS menyebabkan penyakit restriktif yang sangat parah. ARDS pernah
dikenal dengan banyak nama termasuk syok paru, paru-paru basah traumatik,
sindrom kebocoran kapiler, postperfusi paru, atelektasis kongestif dan
insufisiensi pulmonal postraumatik. Sindrom ini tidak pernah timbul sebagai
penyakit primer, tetapi sekunder akibat gangguan tubuh yang terjadi.
Sindrom Gawat Nafas Dewasa atau
ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik adalah sindrom klinis yang
di tandai dengan penurunan progesif kandungan oksigen arteri yang terjadi
setelah enyakit atau cedera serius. (Brunner& Suddart hal :615)
Sindrom gagal pernafasan(ARDS) merupakan gagal pernafasan mendadak yang
timbul pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom
Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik
merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen
arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Dalam sumber lain ARDS
merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas
berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan
pada berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa factor pretipitasi
meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis, emboli paru,
perdarahan dan trauma berbagai bentuk.
Dua kelompok yang tampak menjadi resiko besar untuk
sindrom adalah yang mengalami sindrom sepsis dan yang mengalami aspirasi
sejumlah besar cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan kasus sepsis yang
menyebabkan ARDS dan kegagalan organ multiple karena infeksi oleh basil aerobic
gram negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1 sampai 96 jam sebelum
timbul ARDS. ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun
1967. Ini meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal,
menyebabkan edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut
infiltrasi pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi
meskipun diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP)
kurang dari 18 mmHg.
ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera
organ multiple dan mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi
ARDS diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya
mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden
yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung pada
etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas di
antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih 50%
– 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai
manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab.
2.2 Etiologi
ARDS terjadi jika paru-paru terkena cidera baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh berbagai proses. Masih belum jelas
diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacam-macam dapat berkembang
menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama. Petunjuk umum penyebab
edema alveolar yang khas agaknya berupa cidera membrane kapiler-alveolar yang
menyebabkan kebocoran kapiler. Beberapa keadaan yang paling sering menyebabkan
ARDS antara lain :
Syok karena berbagai sebab (terutama
hemoragik, pankreatitis akut hemoragik, sepsis gram negatif). Sepsis tanpa
syok, dengan atau tanpa koagulasi intravaskuler diseminata (DIC).
Pnemonia virus yang berat. Trauma yang berat, misalnya cidera kepala, cidera dada yang langsung, trauma pada berbagai organ dengan syok hemoragik, fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur).
Pnemonia virus yang berat. Trauma yang berat, misalnya cidera kepala, cidera dada yang langsung, trauma pada berbagai organ dengan syok hemoragik, fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur).
Cedera aspirasi/ inhalasi misalnya
aspirasi isi lambung, hamper tenggelam, inhalasi asap, inhalasi gas iritan
(seperti klor, ammonia, sulfur dioksida), pemberian inhalasi oksigen
konsentrasi tinggi (FIO2 > 50%) yang lama (> 48 jam), takar lajak
narkotik.
Posperfusi pada pembedahan pintas kardiopulmoner. Infeksi (virus, bakteri, jamur, tuberculosis). Obat-obatan (paraquat, heroin, salisilat). Rudapaksa paru dan Radiasi.Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. SGPA (Sindrom Gawat Pernafasan Akut) seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah 14 diantara 100.000 orang/tahun.
Posperfusi pada pembedahan pintas kardiopulmoner. Infeksi (virus, bakteri, jamur, tuberculosis). Obat-obatan (paraquat, heroin, salisilat). Rudapaksa paru dan Radiasi.Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. SGPA (Sindrom Gawat Pernafasan Akut) seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah 14 diantara 100.000 orang/tahun.
2.3 Patofisiologi
Sindrom gagal pernafasan pada orang
dewasa selalu berhubungan dengan penambahan cairan dalam paru, merupakan suatu
edema paru yang berbeda dari edema patu karena kelainan jantung olah karena
tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Mula-mula terjadi
kerusakan membran kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas
enditel kapiler paru dan epitel alveoli yang mengakibatkan edema alveoli dan
interstitial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan
merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan
atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi
kaku dan keluwesan paru (compliance) menurun. Kapasitas sisa berfungsi
(fungsional residual capacity) juga menurun. Hipoksemia yang berat merupakan
gejala penting sindrom gagal pernafasan pada orang dewasa dan penyebab
hipoksemia adalah ketidak seimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venus
(aliran darah mengalir ke alveoli yang kolaps) dan kel;ainan difusi alveoli-kapiler
sebab penebalan dinding alveoli-kapiler.Meskipun kejadian presipitasi spectrum
luas berhubungan dengan ARDS, patogenesis pada umumnya adalah kerusakan difusi
pada membrane alveolokapiler, teorinya karena satu dari dua kategori mekanisme Aspirasi
bahan kimia tertentu atau inhalasi gas berbahaya kedalam jalan nafas yang
secara langsung toksik terhadap epithelium alveolar, menyebabkan kerusakan dan
peningkatan permeabilitas membrane alveolokapilar. Kerusakan pada membrane
alveolokapilar dapat diawali pada mikrovaskular pulmonal.
ARDS biasanya terjadi
pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga
terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan (misal
awitan mendadak infeksi akut). Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24
jam dari waktu cedera paru sampai berkembangnya gejala. Durasi sindrom dapat
beragam dari beberapa hari sampai minggu. Pasien yang tampak akan pulih dari
ARDS dapat secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonari akut akibat serangan
sekunder seperti pneumotoraks atau infeksi berat.
2.4 Manifestasi Klinik
Gambaran
primer dari ARDS meliputi :
1. Pirau
intrapulmonary yang nyata dengan hipoksemia.
2. Berkurangnya
daya kembang paru-paru yang progresif.
3. Dispnea
dengan sesak nafas.
4. Takipnea yang
berat akibat hipoksemia.
5. Bertambahnya
kerja pernafasan skunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru.
6. Daya kembang
paru-paru menurun hingga 15 sampai 20 ml/cm H2O.
7. Kapasitas residu
fungsional juga berkurang.
8. Timbul
paru-paru yang kaku yang sukar berventilasi.
Ciri khas ARDS :
1. Hipoksemia
yang tidak dapat diatasi dengan pembarian oksigen selama bernafas spontan.
2. Frekuensi
pernafasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi.
3. Sianosis
dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda
dini dan nyata dari hipoksemia.
2.5 Diagnosa
·
Pemeriksaan
Fisik
Karena pemeriksaan fisik sering kali
tidak memberikan petunjuk, satu dari alat-alat pengkajian yang kuat adalah
kesadaran konstan terhadap penyebab ARDS. Perawat harus mempertahankan tingkat
kecurigaan yang tinggi, dan berusaha keras untuk terus mengkaji. Data dasar
yang penting harus dikumpulkan. Perubahan dan kecenderungan yang dapat
merupakan petunjuk dini keadaan abnormal fungsi paru-tanda vital, sensori dan
GDA -harus dicatat. Peningkatan frekuensi pernafasan secara bertahap tanpa
gejala atau tanda penyerta mungkin merupakan petunjuk dini.
·
Pemeriksaan
Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa ARDS
sangat tergantung dari pengambilan anamnesa klinis yang tepat. Pemeriksaan
laboraturium yang paling awal adalah hipoksemia, sehingga penting untuk
melakukan pemeriksaan gas-gas darah arteri pada situasi klinis yang tepat,
kemudian hiperkapnea dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir.
Pada permulaan, foto dada
menunjukkan kelainan minimal dan kadang-kadang terdapat gambaran edema
interstisial. Pemberian oksigen pada tahap awal umumnya dapat menaikkan tekanan
PO2 arteri ke arah yang masih dapat ditolelir. Pada tahap berikutnya sesak nafas
bertambah, sianosis penderita menjadi lebih berat ronki mungkin terdengar di
seluruh paru-paru. Pada saat ini foto dada menunjukkan infiltrate alveolar
bilateral dan tersebar luas. Pada saat terminal sesak nafas menjadi lebih hebat
dan volume tidal sangat menurun, kenaikan PCO2 dan hipoksemia bertambah berat,
terdapat asidosis metabolic sebab hipoksia serta asidosis respiratorik dan
tekanan darah sulit dipertahankan.
2.6 Penatalakasanaan Medis
Tujuan
Terapi :
1. Support
pernapasan.
2. Mengobati
penyebab jika mungkin.
3. Mencegah
komplikasi.
Terapi :
1. Intubasi
untuk pemasangan ETT
2. Pemasangan
Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk mempertahankan keadekuatan
level O2 darah.
3. Sedasi untuk
mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator
4. Pengobatan
tergantung klien dan proses penyakitnya :
a.
Inotropik agent (Dopamine ) untuk
meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
b.
Antibiotik untuk mengatasi infeksi.
c.
Kortikosteroid dosis besar
(kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan mempertahankan stabilitas
membran paru
2.7 Komplikasi
Infeksi paru
dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru,
hipoksia alveoli, penurunan surfaktan dan daya aktivitas surfaktan akan
menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi. Komplikasi PEEP yang sering adalah
penurunan curah jantung, emfisema subkutis, pneumothoraks dan
pneumomediastinum. Tingkat kemaknaan ARDS sebagai kedaruratan paru ekstrim
dengan rata-rata mortalitas 50%-70% dapat menimbulkan gejala sisa pada
penyembuhan, prognosis jangka panjang baik. Abnormalitas fisiologik dari ringan
sampai sedang yaitu abnormalitas obstruktif terbatas (keterbatasan aliran
udara), defek difusi sedang dan hipoksemia selama latihan. Hasil positif pada
pasien yang sembuh dari ARDS paling mungkin fungsi tiga dari kemampuan tim
kesehatan untuk melindungi paru dari kerusakan lebih lanjut selama periode
pemberian dukungan hidup, pencegahan toksisitas oksigen dan perhatian terhadap
penurunan sepsis.
Menurut Hudak &
Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
a)
Abnormalitas
obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
b) Defek difusi sedang
c) Hipoksemia selama latihan
d) Toksisitas oksigen
e)
Sepsis
2.8 Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan hasil Analisa
Gas Darah :
a)
Hipoksemia
( pe ↓ PaO2 )
b) Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena
hiperventilasi
c) Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
d) Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
e)
Asidosis
respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
Pemeriksaan Rontgent
Dada :
a)
Tahap
awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b)
Tahap
lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
Tes Fungsi paru :
a)
Pe
↓ komplain paru dan volume paru
b)
Pirau
kanan-kiri meningkat
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian dengan pasien ARDS,
meliputi :
a) Identitas
Identitas pada klien yang harus
diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa,
alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
b) Keluhan
utama
Keluhan yang sering menyebabkan
klien dengan ARDS meminta pertolongan dari tim
kesehatan
c) Riwayat
penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan
perawat dalam melengkapi pengkajian.
1.
Provoking
Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
2.
Quality of
Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam
melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam
melakukan pernapasan?
3.
Region: di mana
rasa berat dalam melakukan pernapasan?
4.
Severity of
Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
5.
Time: berapa
lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau siang
hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga,
apakah timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa
yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan
gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji
apakah sebelumnya klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai obat-obat yang
biasa diminum oleh klien pada masa lalu. Catat adanya efek samping yang terjai
di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB)
dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS berhubungan erat
dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual..
e) Riwayat
Penyakit Keluarga
Secara patologi ARDS tidak
diturunkan/tidak?
f)
Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of
System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi
pemerikasaan fisik umum per system
dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda
vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta
pemeriksaan yang focus pada B2
dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
Keadaan Umum
dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan
secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain
itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas
compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.Hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit
seperti hipertensi.
B1
(Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan
TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi :
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas
pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi
diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura
yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai
atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang
sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat
komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat
melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk
produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum
yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi
sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per
hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan.
Palpasi :
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas
biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan
dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran
yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien
berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah
distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan
resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada
dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi :
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi,
biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada
klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi
cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke
sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas
tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi.
Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai
resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi
yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian
yang didapat meliputi:
a)
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan
fisik.
b)
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
c)
Perkusi : Batas jantung mengalami
pergeseran pada TB paru dengan efusi pleuramasif mendorong ke sisi sehat.
d)
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi
jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis,
ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada
pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan
fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine
berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau
yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT
terutama fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang
banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan,
kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
2. Diagnosa Keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk
buruk, edema trakeal/faringeal.
2.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi
paru, batuk menetap.
3.
Hipertermi berhubungan dengan proses
inflamasi aktif.
4.
Gangguan keseimbangan nutrisi,
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya
produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Intervensi Keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tak efektif
berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk
buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan
keperawatan kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
a)
Mencari posisi yang nyaman yang
memudahkan peningkatan pertukaran udara.
b)
Mendemontrasikan batuk efektif.
c)
Menyatakan strategi untuk menurunkan
kekentalan sekresi.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Jelaskan klien tentang kegunaan
batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
2.
Ajarkan klien tentang metode yang
tepat pengontrolan batuk
3.
Napas dalam dan perlahan saat
duduk setegak mungkin.
4.
Lakukan pernapasan diafragma.
5.
Tahan napas selama 3 – 5 detik
kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat.
6.
Auskultasi paru sebelum dan
sesudah klien batuk.
7.
Ajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak
kontraindikasi.
8.
Dorong atau berikan perawatan
mulut yang baik setelah batuk.
9.
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain : Dengan dokter : pemberian expectoran, pemberian antibiotika, konsul
photo toraks.
|
1.
Pengetahuan yang diharapkan akan
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2.
Batuk yang tidak terkontrol adalah
melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3.
Memungkinkan ekspansi paru lebih
luas.
4.
Pernapasan diafragma menurunkan
frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5.
Meningkatkan volume udara dalam
paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6.
Pengkajian ini membantu
mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7.
Sekresi kental sulit untuk
diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada
atelektasis.
8.
Hiegene mulut yang baik meningkatkan
rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9.
Expextorant untuk memudahkan
mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan
parunya.
|
2.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi
paru, batuk menetap.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan rasa
nyeridapat berkurang atau terkontrol
Kriteria
Hasil :
a)
Menyatakan nyeri berkurang atau
terkontrol
b)
Pasien tampak rileks
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Observasi karakteristik nyeri.
Misalnya: tajam, konstan, ditusuk. Selidiki perubahan karakter
/lokasi/intensitas nyeri.
2.
Pantau TTV.
3.
Berikan tindakan nyaman. Misalnya:
pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang, relaksasi/latihan nafas.
4.
Tawarkan pembersihan mulut dengan
sering.
5.
Anjurkan dan bantu pasien dalam
teknik menekan dada selama episode batukikasi.
6.
Kolaborasi dalam pemberian
analgesik sesuai indikasi
|
1.
Nyeri
merupakan respon subjekstif yang dapat diukur.
2.
Perubahan
frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila
alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
3.
Tindakan
non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
4.
Pernafasan
mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa,
potensial ketidaknyamanan umum.
5.
Alat
untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan
upaya batuk.
6.
Obat
ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif, meningkatkan
kenyamanan
|
3.
Hipertermi berhubungan dengan proses
inflamasi aktif.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan
keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal.
Kriteria
Hasil : Suhu tubuh 36°C-37°C
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji suhu tubuh pasien.
2.
Beri kompres air hangat.
3.
Berikan/anjurkan pasien untuk
banyak minum 1500-2000 cc/hari (sesuai toleransi).
4.
Anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat.
5.
Observasi intake dan output, tanda
vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi.
6.
Kolaborasi : pemberian cairan
intravena dan pemberian obat sesuai program.
|
1. Mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan intervensi.
2. Mengurangi panas dengan pemindahan panas secara konduksi. Air hangat
mengontrol pemindahan panas secara perlahan tanpa menyebabkan hipotermi atau
menggigil.
3. Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi
4. Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat
dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
5. Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan umum pasien.
6. Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang
tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan panas tubuh pasien.
|
4.
Gangguan keseimbangan nutrisi,
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya
produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan
diharapkan kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria
hasil :
a)
Menunjukkan berat badan meningkat
mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
b)
Melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Catat status nutrisi paasien:
turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan
menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
2.
Kaji ulang pola diet pasien
yang disukai/tidak disukai.
3.
Monitor intake dan output secara
periodik.
4.
Catat adanya anoreksia, mual,
muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi,
volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
5.
Anjurkan bedrest.
6.
Lakukan perawatan mulut sebelum
dan sesudah tindakan pernapasan.
7.
Anjurkan makan sedikit dan sering
dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Kolaborasi:
8.
Rujuk ke ahli gizi untuk
menentukan komposisi diet.
|
1.
Berguna
dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
2.
Membantu
intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
3.
Mengukur
keefektifan nutrisi dan cairan.
4.
Dapat
menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk
meningkatkan intake nutrisi.
5.
Membantu
menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
6.
Mengurangi
rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat
merangsang muntah.
7.
Memaksimalkan
intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
8.
Memberikan
bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan
metabolik dan diet.
|
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien
diharapkan mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi
Kriteria
hasil :
Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi
terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan
berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi respon pasien terhadap
aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan atau
kelelahan.
2.
Berikan lingkungan tenang dan
batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
3.
Jelaskan pentingnya istirahat
dalam rencana pengobatandan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
4.
Bantu pasien memilih posisi nyaman
untuk istirahat.
5.
Bantu aktivitas perawatan diri
yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase
penyembuhan.
|
1.
Menetapkan
kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan intervensi.
2.
Menurunkan
stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat.
3.
Tirah
baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic,
menghemat energy untuk penyembuhan.
4.
Pasien
mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk ke depan
meja atau bantal.
5.
Meminimalkan
kelelahan dan membantu keseimbanagnsuplai dan kebutuhan oksigen.
|
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu antara oksigen (O²)
yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang
dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Secara
garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis
dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratorius dimulai
dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus
terminalis.
Sindroma
Gawat Pernafasan Akut (Sindroma Gawat Pernafasan Dewasa) adalah suatu
jenis kegagalan paru-paru dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang
menyebabkan terjadinya pengumpulan cairan di paru-paru (edema paru). Biasanya terjadi pada orang yang
sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau
non-pulmonal.
Saran
Sehat
merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi fisik yang
sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa mengalami
hambatan. Maka menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam tubuh
menjadi sangat penting mengingat betapa berpengaruhnya sistem organ tersebut
terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas seseorang.