Senin, 17 Desember 2012

ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa)



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa) adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarateristikan oleh kejadian antesenden mayor, eksklusikardiogenik menyebabkan edema paru, adanya takipnea dan hipoksia,daninfiltrate pucat pada foto dada.
ARDS ( juga disebutb syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat, sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun,dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa). Faktor resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik.
Sesuai dengan uraian diatas, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa) beserta asuhan keperawatan yang bisa dilakukan terhadap pasien dengan masalah ARDS (Sindrom Gawat Nafas Dewasa).

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa yang di maksud dengan ARDS?
1.2.2        Bagaimana Etiologinya?
1.2.3        Bagaimanakah patofisiologinya?
1.2.4        Bagaimanakah manifestasi klinisnya?
1.2.5        Bagaimana penatalaksanaannya?
1.2.6        Apa saja komplikasi dari ARDS?
1.2.7        Bagaimanakah pemeriksaan penunjangnya?
1.2.8        Bagaimanakah asuhan keperawatan bagi pasien ARDS?


1.3  Tujuan
1.3.1        Menjelaskan tentang definisi ARDS
1.3.2        Menjelaskan etiologi dari ARDS
1.3.3        Menjelaskan patofisiologinya
1.3.4        Menjelaskan manifestasi klinisnya
1.3.5        Menjelaskan penatalaksanaannya
1.3.6        Menjelaskan komplikasi yang terjadi pada pasien ARDS
1.3.7        Menjelaskan pemeriksaan penunjangnya
1.3.8        Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien ARDS 


BAB 2
PEMBAHASAN

A
 Anatomo fisiologi




Anatomi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakhea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung; Nares anterior adalah saluran-saluran didalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara kedalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga hidung). Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang laring (laring-faringeal). Laring (tenggorok) terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrata servikalis dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan membran. Trakhea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus (bronchi). Trakhea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak tetap yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakhea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kirakira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronkus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus. Yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronchiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Saluran-saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, assinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki tangan kira-kira 0,5-1,0 cm. terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai sakus alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior.
Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas. (Pearce,2002)



Fisiologi
Pernafasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan ekternal, oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernafas, dan oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dalam darah dalam kapiler pulmonal. Alveoli memisahkan oksigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil oleh sel darah merah di bawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi ketika konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernafasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernafasan sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandun oksigen dari seluruh tubuh masuk kedalam jaringan mengambil karbon dioksida dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernafasan eksterna. Besarnya daya muat udara dalam paru-paru 4500-5000 ml (4,5-5 liter).
Udara yang diproses dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10 %, kurang lebih 500ml, disebut juga udara pasang surut (tidal air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasan biasa. Kecepatan pernafasan pada wanita lebih tinggi dari pada pria. Pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian istirahat. Pada bayi ada kalanya terbalik inspirasi-istirahat-ekspirasi, disebut juga penafasan terbalik. (Syaifuddin, 2006)

2.2 Definisi
ARDS adalah penyakit akut dan progressif dari kegagalan pernafasan disebabkan terhambatnya proses difusi oksigen dari alveolar ke kapiler yang disebabkan oleh karena terdapatnya edema yang terdiri dari cairan koloid protein baik interseluler maupun intraalveolar. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, 2000).
ARDS adalah suatu kondisi yang ditandai oleh hipoksemia berat, dispnea dan infiltrasi pulmonari bilateral. ARDS menyebabkan penyakit restriktif yang sangat parah. ARDS pernah dikenal dengan banyak nama termasuk syok paru, paru-paru basah traumatik, sindrom kebocoran kapiler, postperfusi paru, atelektasis kongestif dan insufisiensi pulmonal postraumatik. Sindrom ini tidak pernah timbul sebagai penyakit primer, tetapi sekunder akibat gangguan tubuh yang terjadi.
Sindrom Gawat Nafas Dewasa atau ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik adalah sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan progesif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah enyakit atau cedera serius. (Brunner& Suddart hal :615)
Sindrom gagal pernafasan(ARDS)  merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Dalam sumber lain ARDS merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa factor pretipitasi meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis, emboli paru, perdarahan dan trauma berbagai bentuk.
Dua kelompok yang tampak menjadi resiko besar untuk sindrom adalah yang mengalami sindrom sepsis dan yang mengalami aspirasi sejumlah besar cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan kasus sepsis yang menyebabkan ARDS dan kegagalan organ multiple karena infeksi oleh basil aerobic gram negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1 sampai 96 jam sebelum timbul ARDS. ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967. Ini meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg.
ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih 50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab.

2.2 Etiologi
ARDS terjadi jika paru-paru terkena cidera baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai proses. Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacam-macam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama. Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cidera membrane kapiler-alveolar yang menyebabkan kebocoran kapiler. Beberapa keadaan yang paling sering menyebabkan ARDS antara lain :
Syok karena berbagai sebab (terutama hemoragik, pankreatitis akut hemoragik, sepsis gram negatif). Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravaskuler diseminata (DIC).
Pnemonia virus yang berat. Trauma yang berat, misalnya cidera kepala, cidera dada yang langsung, trauma pada berbagai organ dengan syok hemoragik, fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan dengan fraktur tulang panjang seperti femur).
Cedera aspirasi/ inhalasi misalnya aspirasi isi lambung, hamper tenggelam, inhalasi asap, inhalasi gas iritan (seperti klor, ammonia, sulfur dioksida), pemberian inhalasi oksigen konsentrasi tinggi (FIO2 > 50%) yang lama (> 48 jam), takar lajak narkotik.
Posperfusi pada pembedahan pintas kardiopulmoner. Infeksi (virus, bakteri, jamur, tuberculosis). Obat-obatan (paraquat, heroin, salisilat). Rudapaksa paru dan Radiasi.Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. SGPA (Sindrom Gawat Pernafasan Akut) seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor resiko dari SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SGPA adalah 14 diantara 100.000 orang/tahun.





2.3 Patofisiologi
Sindrom gagal pernafasan pada orang dewasa selalu berhubungan dengan penambahan cairan dalam paru, merupakan suatu edema paru yang berbeda dari edema patu karena kelainan jantung olah karena tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Mula-mula terjadi kerusakan membran kapiler alveoli, kemudian terjadi peningkatan permeabilitas enditel kapiler paru dan epitel alveoli yang mengakibatkan edema alveoli dan interstitial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku dan keluwesan paru (compliance) menurun. Kapasitas sisa berfungsi (fungsional residual capacity) juga menurun. Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting sindrom gagal pernafasan pada orang dewasa dan penyebab hipoksemia adalah ketidak seimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venus (aliran darah mengalir ke alveoli yang kolaps) dan kel;ainan difusi alveoli-kapiler sebab penebalan dinding alveoli-kapiler.Meskipun kejadian presipitasi spectrum luas berhubungan dengan ARDS, patogenesis pada umumnya adalah kerusakan difusi pada membrane alveolokapiler, teorinya karena satu dari dua kategori mekanisme Aspirasi bahan kimia tertentu atau inhalasi gas berbahaya kedalam jalan nafas yang secara langsung toksik terhadap epithelium alveolar, menyebabkan kerusakan dan peningkatan permeabilitas membrane alveolokapilar. Kerusakan pada membrane alveolokapilar dapat diawali pada mikrovaskular pulmonal.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan (misal awitan mendadak infeksi akut). Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembangnya gejala. Durasi sindrom dapat beragam dari beberapa hari sampai minggu. Pasien yang tampak akan pulih dari ARDS dapat secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonari akut akibat serangan sekunder seperti pneumotoraks atau infeksi berat.

2.4  Manifestasi Klinik 
Gambaran primer dari ARDS meliputi :
1.      Pirau intrapulmonary yang nyata dengan hipoksemia.
2.      Berkurangnya daya kembang paru-paru yang progresif.
3.      Dispnea dengan sesak nafas.
4.      Takipnea yang berat akibat hipoksemia.
5.      Bertambahnya kerja pernafasan skunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru.
6.      Daya kembang paru-paru menurun hingga 15 sampai 20 ml/cm H2O.
7.      Kapasitas residu fungsional juga berkurang.
8.      Timbul paru-paru yang kaku yang sukar berventilasi.
Ciri khas ARDS :
1.      Hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pembarian oksigen selama bernafas spontan.
2.      Frekuensi pernafasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi.
3.      Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dan nyata dari hipoksemia.

2.5 Diagnosa
·         Pemeriksaan Fisik
Karena pemeriksaan fisik sering kali tidak memberikan petunjuk, satu dari alat-alat pengkajian yang kuat adalah kesadaran konstan terhadap penyebab ARDS. Perawat harus mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi, dan berusaha keras untuk terus mengkaji. Data dasar yang penting harus dikumpulkan. Perubahan dan kecenderungan yang dapat merupakan petunjuk dini keadaan abnormal fungsi paru-tanda vital, sensori dan GDA -harus dicatat. Peningkatan frekuensi pernafasan secara bertahap tanpa gejala atau tanda penyerta mungkin merupakan petunjuk dini.
·         Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa ARDS sangat tergantung dari pengambilan anamnesa klinis yang tepat. Pemeriksaan laboraturium yang paling awal adalah hipoksemia, sehingga penting untuk melakukan pemeriksaan gas-gas darah arteri pada situasi klinis yang tepat, kemudian hiperkapnea dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir.
Pada permulaan, foto dada menunjukkan kelainan minimal dan kadang-kadang terdapat gambaran edema interstisial. Pemberian oksigen pada tahap awal umumnya dapat menaikkan tekanan PO2 arteri ke arah yang masih dapat ditolelir. Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis penderita menjadi lebih berat ronki mungkin terdengar di seluruh paru-paru. Pada saat ini foto dada menunjukkan infiltrate alveolar bilateral dan tersebar luas. Pada saat terminal sesak nafas menjadi lebih hebat dan volume tidal sangat menurun, kenaikan PCO2 dan hipoksemia bertambah berat, terdapat asidosis metabolic sebab hipoksia serta asidosis respiratorik dan tekanan darah sulit dipertahankan.
2.6 Penatalakasanaan Medis
Tujuan Terapi :
1.      Support pernapasan.
2.      Mengobati penyebab jika mungkin.
3.      Mencegah komplikasi.
Terapi :
1.      Intubasi untuk pemasangan ETT
2.      Pemasangan Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk mempertahankan keadekuatan level O2 darah.
3.      Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator
4.      Pengobatan tergantung klien dan proses penyakitnya :
a.       Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
b.      Antibiotik untuk mengatasi infeksi.
c.       Kortikosteroid dosis besar (kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan mempertahankan stabilitas membran paru

2.7 Komplikasi
Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan dan daya aktivitas surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi. Komplikasi PEEP yang sering adalah penurunan curah jantung, emfisema subkutis, pneumothoraks dan pneumomediastinum. Tingkat kemaknaan ARDS sebagai kedaruratan paru ekstrim dengan rata-rata mortalitas 50%-70% dapat menimbulkan gejala sisa pada penyembuhan, prognosis jangka panjang baik. Abnormalitas fisiologik dari ringan sampai sedang yaitu abnormalitas obstruktif terbatas (keterbatasan aliran udara), defek difusi sedang dan hipoksemia selama latihan. Hasil positif pada pasien yang sembuh dari ARDS paling mungkin fungsi tiga dari kemampuan tim kesehatan untuk melindungi paru dari kerusakan lebih lanjut selama periode pemberian dukungan hidup, pencegahan toksisitas oksigen dan perhatian terhadap penurunan sepsis.

Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
a)      Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
b)      Defek difusi sedang
c)      Hipoksemia selama latihan
d)     Toksisitas oksigen
e)      Sepsis



2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
a)      Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 )
b)      Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi
c)      Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
d)     Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
e)      Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
Pemeriksaan Rontgent Dada :
a)      Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b)      Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
Tes Fungsi paru :
a)      Pe ↓ komplain paru dan volume paru
b)      Pirau kanan-kiri meningkat


ASUHAN KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
Pengkajian dengan pasien ARDS, meliputi :
a)      Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

b)     Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan dari tim
kesehatan

c)      Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian.
1.      Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
2.      Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
3.      Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
4.      Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
5.      Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
d)     Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual..
e)      Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi ARDS tidak diturunkan/tidak?
f)       Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system
dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2
dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti hipertensi.

B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi :
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi :
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi :
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.




B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
a)      Inspeksi             : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
b)      Palpasi                           : Denyut nadi perifer melemah.
c)      Perkusi                     : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleuramasif mendorong ke sisi sehat.
d)     Auskultasi                      :  Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.

2.      Diagnosa Keperawatan
1.        Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
2.        Nyeri berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
3.        Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
4.        Gangguan keseimbangan  nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
5.        Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3.      Intervensi Keperawatan
1.      Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
a)    Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
b)    Mendemontrasikan batuk efektif.
c)    Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
Intervensi
Rasional
1.    Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.
2.    Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk

3.    Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
4.    Lakukan pernapasan diafragma.
5.    Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
6.    Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
7.    Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
8.    Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
9.    Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian expectoran, pemberian antibiotika, konsul photo toraks.
1.      Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2.      Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3.      Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4.      Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5.      Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6.      Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7.      Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8.      Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9.      Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
2.      Nyeri berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
Tujuan   : setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeridapat berkurang atau terkontrol
Kriteria Hasil  
a)            Menyatakan nyeri berkurang atau terkontrol
b)           Pasien tampak rileks
Intervensi
Rasional
1.    Observasi karakteristik nyeri. Misalnya: tajam, konstan, ditusuk. Selidiki perubahan karakter /lokasi/intensitas nyeri.
2.    Pantau TTV.
3.    Berikan tindakan nyaman. Misalnya: pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang, relaksasi/latihan nafas.
4.    Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
5.    Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batukikasi.
6.    Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi
1.    Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur.
2.    Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat. 
3.    Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
4.    Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5.    Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
6.    Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif, meningkatkan kenyamanan
3.      Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal.
Kriteria Hasil :  Suhu tubuh 36°C-37°C
Intervensi
Rasional
1.    Kaji suhu tubuh pasien.
2.    Beri kompres air hangat.
3.    Berikan/anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari (sesuai toleransi).
4.    Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat.
5.    Observasi intake dan output, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi.
6.    Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.
1.  Mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan intervensi.
2.  Mengurangi panas dengan pemindahan panas secara konduksi. Air hangat mengontrol pemindahan panas secara perlahan tanpa menyebabkan hipotermi atau menggigil.
3.  Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi
4.  Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
5.  Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
6.  Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan panas tubuh pasien.
4.      Gangguan keseimbangan  nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Tujuan        : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan  kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria hasil  :
a)            Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
b)        Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi
Rasional
1.    Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
2.    Kaji ulang  pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
3.    Monitor intake dan output secara periodik.
4.    Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
5.    Anjurkan bedrest.
6.    Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
7.    Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Kolaborasi:
8.    Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
1.      Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
2.      Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
3.      Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
4.      Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
5.      Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
6.      Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
7.      Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
8.      Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
5.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi
Kriteria hasil
Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal.
Intervensi
Rasional
1.    Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat  laporan  dispnea, peningkatan kelemahan atau kelelahan.
2.    Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. 
3.    Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatandan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
4.    Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat.
5.    Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
1.      Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan intervensi.
2.      Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat. 
3.      Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan.
4.      Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk ke depan meja atau bantal.
5.      Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbanagnsuplai dan kebutuhan oksigen.




BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu antara oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel  dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratorius dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis.
Sindroma Gawat Pernafasan Akut (Sindroma Gawat Pernafasan Dewasa) adalah suatu jenis kegagalan paru-paru dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya pengumpulan cairan di paru-paru (edema paru).  Biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal.

Saran

Sehat merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi fisik yang sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa mengalami hambatan. Maka menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam tubuh menjadi sangat penting mengingat betapa berpengaruhnya sistem organ tersebut terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas seseorang.